BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsafat
pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistematis tentang masalah-masalah
pendidikan pada tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu persoalan
pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi,
etika, logika, estetika maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam
pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat
disederhanakan kedalam ketiga persoalan pokok yaitu :
1. Masalah-masalah
pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi bahwa dalam
penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia,
manusia atau masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam.
2. Pandangan
mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, antara lain dalam
penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan memahami
hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam.
3. Pandangan
mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, seperti masalah etika yang
mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan
pendidikan Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama
pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan
pendidikan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana
sejarah filsafat pendidikan islam?
2. Bagaimana
urgensi filsafat pendidikan islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dalam
lintasan sejarah, umat islam pernah mengukir masa keemasan dan mencapai puncak
peradaban dan kemajuan islam. Pendidikan islam dalam teori dan praktik selalu
mengalami perkembangan, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara
teoritik memiliki dasar dan sumber rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar,
melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena
memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah SWT. Terkait
dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam
yang tidak dimiliki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan
kekuatan akal dan budaya manusia.
Harusnya
dengan keterjalinan antara sumber akal dan wahyu tersebut dapat menghasilkan
konsep dan pemikiran pendidikan islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara
historis melalui upaya pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang
telah berjalan sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang
pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses hingga saat ini. Hanya saja
teori pendidikan mereka seakan tenggelamkarena masuknya tema-tema baru yang
muncul belakangan ini terutama yang berasal dari referensi barat, sedemikian
rupa sehingga timbul kesan seolah-olah perintis penemuan keilmuan pendidikan
itu seluruhnya dari barat.[1]
Dalam
sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban islam selalu dimasukkan
dLm topik-topik khusus. Di bukunya histiry of the arabs, penulisnya philip K.
Hitti (2006)mengungkapkan secara rinci mengenai peradaban islam dalam
periodisasi kesejarahannya. Buku yang berjudul pijar peradaban manusia: denyut
harapan revolusi yang disusun oleh franz dahler dan eka budianta, mengungkapkan
zaman keemasan islam sebagai puncak kedua dalam penggunaan kesadaran rasional
yang dicapai oleh kebudayaan islam abad pertengahan. Selain itu juga
diketengahkan sosok –sosok kepribadian tersohor yang telah menyatukan filsafat
yunani dengan ilmu alam, bumi, astrologi, matematika, kedokteran dan agama
(franz dahler dan eka buduanta: 282)
Buku
dimensi kreatif dalam filsafat ilmu yang disusun oleh tiga penulis: conny R.
Semiawan, I made putrawan, dan TH. I. Setiawan, tidak melupakan kelahiran zaman
modern yang diawali oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada permulaan abad
ke-14 di benua eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terkait dengan
tiga sumber utamanya, yaitu dunia islam dan peradabannya (conny R. Semiawan:
21). Demikian pula yang dikemukakan jerome R. Ravertz dalam bukunya filsafat
ilmu: sejarah dan ruang lingkupnya.
Diantara
ungkapan dinyatakan bahwa kebudayaan islam paling relevan bagi ilmu eropa.
Sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 bahasa arab menjadi bahasa kaum terpelajar
bagi bangsa-bangsa yang terentang dari peria hingag spanyol. Di baghdad, pada
abad ke-9 dilakukan penerjemahan terhadap sumber-sumber yunani ke bahasa arab,.
Lalu pada abad ke-12 karya berbahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa latin,
dalam berbagai bidang keilmuan, dan akhirnya dalam bidang filsafat ilmu (jerome
R. Ravertz: 21). Diluar itu pengembangan ilmu pengetahuan juga ditopang oleh
perpustakaan. Keduanya berjalan seiring.
Dikemukakan
oleh fazlur rahman , bahwa pertumbuhan yang tetap dan cepat dari
perpustakan-perpustakaan semi peblik adalah ciri dari pendidikan islam zaman
pertengahan. Para pejabat yang terkemuka dan mampu mengumpulkan buku-buku dalam
jumlah yang besar dan menyediakannya untuk diprgunakan oleh para pencari ilmu
pengetahuan. Kadang-kadang juga menyedekahkannya untuk dipergunakan oleh
umum. Perpustakaan tersebut berisi buku
tentang segala macam masalah seperti, kesusteraan, ilmu-ilmu keislaman yang
spesifik, (fazlur rahman, 1984: 265-266).
Menurut
jerome R. Revertz, perpustakaan cordova di spanyol memiliki 500.000 buah buku,
pada saat bangsa-bangsa di pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai 5.000
buah buku jerome R. Ravertz: 20) melalui terjemahan dan karya para ilmuan
muslim ini, perkembangan ilmuan eropa mulai menggeliat. Pengaruh tersebut
dinilai sangat besar perannya dalam mendorong ide-ide yang revolusioner dan
bersifat inovatif di eropa. Pengaruh yang mampu mendobrak pemikiran keliru yang
sudah baku, baik yang menyangkut penafsiran fenomena alam maupun dalam
melakuakan penalaran (conny R. Semiawan: 21). Adapun pendobrak pemikiran
dimaksud adalah teori copernicus.
Teori
copernicus membuka jalan bagi terjadinya peristiwa kehebohan intelektual atau
lebih dikenal sebagai revolusi sains. Teori ini telah melahirkan tokoh-tokoh
utamanya seperti tycho brahe (1546-1601), johannes kepler (1571-1630), galileo
galilei (1564-1642), dan isac newton yang hidup antara tahun 1642- 1727 (john
freely: 361). Menurut conny R. Semiawan tokoh-tokoh ini merupakan perintis
dalam membentuk mata rantai untuk meneruskan perkembangan ilmu. Termasuk
meletakkan dasar-dasar disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai filsafat
ilmu (conny R. Semiawaan: 21-22). Meskipun demikian, teori capernicus itu masih
terangkai dengan karya para pendahulunya.
Menurut
george saliba, metode matematika ibn al-shatir dan para pendahulunya membuka
jalan untuk teori copernican dengan memberikan kepadanya metode yang seragam
dengan menggeser model geosentris menjadi model heliosentris (john freely,
2002: 360).
Memang
hampir seluruh publikasi yang terkait dengan masalah ilmu pengetahuan dan para
ilmuannya, sejarah, ataupun kebudayaannya, andil dunia islam terhadap peradaban
dunia, tampaknya takpernah terlewatkan oleh penulisnya. Fakta sejarah ini
setidaknya membuktikan bahwa islam bukan semata-mata teramu dari ajaran-ajaran
yang bersifat normatif. Islam tidak hanya sebatas nama sebuah agama. Pemahaman
terhadap islam, sebagai agama samawi yang muatan ajarannya dianggap hanya
berisi norma-norma yang mengacu kepada kewajiban mematuhi perintah dan larangan
tuhan semata.
Memisahkan
nilai-nilai ajaran islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu
pandangan yang keliru. Apalagi kalau sampai menganggap bahwa islam hanya
sebagai sebuah agama an sich. Lebih nyasar lagi kalau pemahaman ini semakin
dipersempit, hingga memberi kesan bahwa ajaran islam hanya mengakomodasi
kepentingan hidup di akhirat, padahal al-quran dan al-hadis sebagai sumber
utama ajaran islam, kandungannya tidak hanya berisi masalah ibadah semata.[2]
Demikianpula
hanya dengan praktik pendidikan islam. Prektik pendidikan islam selalu
mengalami dinamika dan pasang surut. Teori perkembangan sejarah menyatakan
bahwa hubungan anatra masa lalu, sekarang, dan akan datang memiliki siklus yang
saling bertautan. Julian marias (filosof spanyol) menyatakan bahwa masa
sekarang memuat pengaruh unsur-unsur masa lampau, termasuk didalamnya adalah
masa depan, unsur-unsur saat ini mempengaruhi perjalanan arah masa depan. Ibn
khaldun menyatakan teori perkembangan sejarah berdasarkan pengamatannya pada
kekuasaan raja-raja arab sejalan dengan pertumbuhan manusia yang mengalami masa
kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Arnold toynbee menyebutkan bahwa tiap
peradaban senantiasa mengalami masa pertumbuhan (rise), puncak kejayaan (peak),
dan kemunduran (decline).tidak asalah kalau ada pepatah menyatakan bahwa hidup
ini ibarat roda sekali di atas, lain kali di bawah. Atau, betapapun tingginya
burung terbang, tentunya akan turun kepermukaan juga. Namun demikian, teori
siklus perkembangan tersebut bisa kita teruskan satu lagi periode pasca
kemunduran, yaitu periode pembaruan dan upaya kebangkitan kembali untuk
mencapai puncak kejayaan. Renaissance yang terjadi di barat merupakan contoh
yang tepat untuk menjelaskan hal ini.
Teori-teori
perkembangan diatas dapat digunakan untuk memahami dinamika pendidikan islam.
Terkait dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam
khususnya, dapat dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode
pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi
muhammad SAW. Sampai akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang
berlangsung pada masa khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline)
yang terjadi setelah jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M;
serta 4) periode pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M.[3]
1. PERIODE PERTMBUHAN
Masa ini merupakan masa awal pertumbuhan
dan persemaian nilai-nilai ke-islam-an, dimana karakteristik pendidikan islam
berpusat pada sumber al-qur’an dan hadis secara murni. Ketika nabi muhammad
SAW. Masih hidup, praktik pendidikan islam mengikuti tuntunan firman Allah SWT.
Dan teladan beliau. Tujuan pendidikan islam waktu itu adalah untuk membentuk
sikap takwa serta penanaman nilai akhlak mulia. Pada saat ini, pendidikan islam
belum terwujud dalam bentuk konsep dan pemikiran yang tertuang dalam karya
tulis atau disiplin ilmu secara spesifik, namun praktik pendidikan yang
dilakukan oleh nabi muhammad Saw. Baik keluarga maupun masyarakat, menunjukkan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang terus menerus menjadi sumber
inspirasi untuk dipelajari.
Setelah wafatnya nabi muhammad SAW.,
tampuk kepemimpinan umat dipegang oleh khulafa’ al-rasyidin. Abu bakar (632-634
M) merupakan halifa pertama yang melakukan konsolidasi kekuasaan terhadap
semenanjung arabia hingga masuk ke irak dan syria. Khalifah ke dua, umar bin
al-khattab (634-644 M) melanjutkan perkembangan islam sampai ke mesopotamia,
mesir, syria, palestina, dan sebagian besar wilayah persia, tabristan,
azerbaijan, armenia, serta beberapa bagian wilayah turki.
Usman bin Affan (644-656 M), merupakan
khalifah ke tiga dengan latar belakang pedagang kaya dan termasuk diantara
mereka yang pertama kali masuk islam. Ali bin abi talib (656-661 M), keponakan
dan menantu nabi muhammad Saw., merupakan khalifah ke empat yang populer dengan
ketakwaan, keluasan pengetahuan, keberanian, dan kedekatannya dengan nabi
muhammad saw. [4]
2. PERIODE KEJAYAAN
Masa pertumbuhan diatas menuai hasilnya
terutama pada masa khalifah abbasiyah yang merupakan masa kedua, yaitu peride
kejayaan. Pada masa ini islam mengalami masa keemasan (golden ages).
Dubidang keilmuan, ilmu-ilmu ke-islam-an
yang bersumber dari wahyu tumbuh menjadi disiplin ilmu-ilmu agama yang sangat
rinci sehingga menjadi ilmu-ilmu cabang dan raningna. Munculnya ilmu-ilmu
al-Quran, ilmu-ilmu hadis, hukum islam, teologi, tasawuf, dan lain-lain,
benar-benar menandai bangkitnya ilmu pengetahuan dikalangan umat islam.
Pada masa keemasan ini banyak
bermunculan para tokoh dan cendekiawan muslim yang produktif dalam keilmuan.
Dapat disebutkan sebagian kecil dari tokoh yang kajiannya terkait langsung
dengan pendidikan adalah ibnu miskawaih dan al-ghazali.
Menurut ibnu miskawaih, syariat agama
merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan
utamanya adalah al-qur’an dan hadis.
Dalam bidang astronomi, umat islam
dahulu telah berhasil memadukan tradisi bangsa india, persia, timur dekat kuno
khususnya yunani, menjadi sebuah sintesis yang mengukur babak baru dalam
sejarah astronomi sejak abad ke-8 dan seterusnya. Di bidang kelembagaan,
lembaga pendidikan yang ada pad periode kemajuan ini juga bersifat integral,
artinya tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja melainkan menyatu dengan
ilmu-ilmu umum yang kita sebut sekarang dengan ilmu modern.
Kegemilangan masa abbasiyah mulai
menurun seiring dengan munculnya konflik politik, perebutan kekuasaan, gaya
hidup mewah para penguasa, dan krisis ekonomi umat, sehingga memperlemah
kemajuan yang telah dicapai selama kurang lebig 5 abad sebelumnya.
3. PERIODE KEMUNDURAN
Masa kemunduran terjadi setelah jatuhnya
kekuasaan abbasiyah akibat berbagai faktor yang saling berkaitan. Diantaranya
adalah:
a. Persaingan
antar bangsa
b. Kemerosotan
ekonomi
c. Konflik
sosial-keagamaan
d. Ancaman
dari luar[5]
4. PERIODE PEMBARUAN
Pembaruan pemikiran pendidikan islam
sebenarnya telah dilakukan para ulama dan cendekiawan muslim terdahulu, tanpa
dibatasi oleh periode terdahulu, tanpa dibatasi oleh periode tertentu.
Bila dicermati, kondisi umat dan
negara-negara islam saat ini masih dilanda oleh ketegangan politik, masalah
kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dibidang sains dan teknologi,
sekteranianisme, serta ketergantungan dengan negara asing, maka gerakan
pembaruan ini harus dilakukan secara intensif.
B. URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Para
ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang pada saat ini baik dalam
pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa
pelaksanakan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh
landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan
ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman
(1995) misalnya, mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan agama Islam selama
ini berjalan melalui cara didaktis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan
lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari filsafat pendidikan
model barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi pengatahuan agama.” Untuk
menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan
Islam yang kokoh.
Ma’arif
(1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan
Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan
Islam selama ini masih rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk dualisme
dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu
‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu
kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakan. Di samping itu,
kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorentasi ke langit (orientasi
transedental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan
filsafat pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan
suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha
pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori
(1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini
tampaknya mulai kehilangan jatih diri yang antara lain di sebabkan karena
penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan praktis operasional dan
formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih
bersifat fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi,
demikian pula riset-riset di dalamnya.
Pendidikan
merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan
kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Atau meminjam terma Lodge (1947)
bahwa “Life is education and education is life”. Sebagai persoalan hidup maka
pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem
pemikiran filsafat tersebut di atas menyangkut metafisika, epistemologi,
aksiologi dan logika, karena problema yang ada dalam lapangan pendidikan juga berada dalam
lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antara filsafat dan pendidikan
adalah sangat erat.
Dengan
demikian, filsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu
usaha. Berfilsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita
yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan
cita-cita itu dalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia.
Sistem
pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka sebagai
berikut:
1. Dalam
lapangan metafisika, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan
dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan[6].
2. Dalam
lapangan epistemology, antara lain diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar
kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan sebagai serangkaian kegiatan atau
sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan raya yang
perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha mengenal dan memahami
pengetahuan. [7]
3. Dalam
lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat
dengan pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan
pendidikan, karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar
pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan. Di samping
itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan social, kultual, dan keagamaan tidak
dapat lepas dari sistem nilai.
4. Dalam
lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai
ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan
kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki seseorang mampu mengutarakan
pendapat dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
Karena
itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan keharusan, terutama
dalam menjawab persoala-persoalan pokok dan mendasar yang dihadapi oleh
pendidikan. Brubacher (1955) sebagaimana dikutip oleh Ozmon dan Craver (1995)
menyarankan agar persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan dibahas
dan dipecahkan menurut teori filsafat. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan
filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak
demikian, dikhawatirkan akan terjadi :
1. Pendidikan
akan terapung-apung (tanpa tujuan).
2. Tujuan-tujuan
pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan tidak menunjang
kesetiaan.
3. Ukuran-ukuran
dasar pendidikan menjadi sangat longgar.
4. Ketidakmenentuan
peranan pendidikan dalam suatu masyarakat.
5. Sekolah-sekolah
akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak mampu memupuk
apresiasi terhadap otoritas dan kontrol.
6. Sekolah
akan menjadi sangat sekular dan mengabaikan agama.
Ibarat
sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan Islam itu mencakup
berbagai dimensi, yaitu :
a.
Dimensi
bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan.
Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-sumber atau semangat
pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu sendiri.
b.
Dimensi fondasi
bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar dan asas (kebenaran yang
menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan pokok
pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-komponen pokok aktivitas)
pendidikan Islam.
c.
Dimensi tiang
penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang
fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu sendiri
dalam mengembangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem pendidikan
Islam.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Terkait
dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam khususnya, dapat
dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan (rise) yang
terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW. Sampai
akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa
khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah
jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode
pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M..
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika
dikaitkan dengan pendidikan, maka :
1.
lapangan
metafisika, diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang
bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan.
2.
Dalam lapangan
epistemology, diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum.
3.
Dalam lapangan
aksiologi, yakni mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan pendidikan,
yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan, karena dunia
nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang selalu
dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan.
4.
Dalam lapangan
logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran
berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan.
DAFTAR
PUSTAKA
Assegat
Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011,
Jalaluddin,
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Mustansyir
Rizal Dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Celeban Timur: Pustaka Pelajar,2002,
Surajiyo,
Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara,
2007,
[1] Assegat Assegat, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.1.
[2]
Jalaluddin, Filsafat
Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 239-243.
[3]
Assegat Assegat, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.3-4.
[4]Ibid, hal.4-5.
[5]
Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2011), hal. 12-16.
[6] Mustansyir Rizal dan Misnal
Munir, Filsafat Ilmu, (Celeban Timur: Pustaka Pelajar,2002),hal.10.
[7] Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan
Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal.152.
No comments:
Post a Comment