ALIRAN MU’TAZILAH
MAKALAH
ILMU KALAM
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 5
1. ANGGA HARDIANTO
2. PAISAL IRDANUS
3. STING RAZALI
4. SYAMSI SUMAR
MADRASAH ALIYAH
BHAKTI
KERAPATAN JUJUN
TAHUN AJARAN 2009/2010
A. ASAL-USUL KEMUNCULAN MU’TAZILAH
Secara harfiah
kata mu’tazilah berasal dari I’tazala
yang berati berpisah atau memisahkan diri, yang berate juga menjauh atau
menjauhkan diri. Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama
(Selanjutnya disebut Mu’tazilah 1)
muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral
politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menanggapi pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan
lawan-lawannya, terutama Mu’tazilah Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Dan golongan inilah yang mula-mula disebut dengan kaum Mu’tazilah, karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah
khilafah.
Golongan kedua
(Selanjutnya disebut Mu’tazilah 2).
Golongan ini muncul karena mereka berbeda pandapat dengan khawarij dan Murji’ah
tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
Beberapa versi
tentang pemberian nama Mu’tazilah
kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil bin
Atha serta temannya, Amr bin Ubaid, dan Hasan Al-Basyri di Basyrah. Ketika Wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh hasan
Al-Basyri di Masjid Basyrah,
datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al-Basyri tentang orang yang berdosa besar.
Ketika Hasan Al-Basyri masih
berpikir, Wasil mengemukakan
pendapatnya dengan mengatakan: “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mu’min dan bukan pula
kafir, tetapi berada pada posisi antara keduanya, tidak mu’min dan tidak pula kafir.”
Kemudian Wasil menjauhkan menjauhkan diri
dari Hasan Al-Basri dan pergi ketempat lain di lingkungan Masjid. Disana Wasil
mengulangi pendapatnya dihadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini,
Hasan Al-Basri berkata, Wasil
menjauhkan diri dari kita.” Menurut Asy-syahrasani, kelompok yang memisahkan
diri pada peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain yang
dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin
Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al-Basri dari majelisnya karena ada pertikaian
diantara mereka tentang masalah qadar dan pelaku dosa besar. Keduanya
menjauhkan diri dari Hasan Al-Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa
besar itu tidak mi’min dan tidak pula kafir. Oleh karena itu, golongan ini
dinamakam Mu’tazilah.
Versi lain
dikemukakan oleh Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qadatah bin Da’mah pada
suatu hari masuk Masjid Basyrah dan
bergabung dengan majlis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan
Al-Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majlis tersebut bukan majlis Hasan Al-Basri, ia
berdiri dan meninggalakan tempat sambil mengatakan,”Ini kaum Mu’tazilah.” Sejak
itulah kaum ini dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi
memberikan tentang asal usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut pautnya
dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al-Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, kerena berpendapat
bahwa orang yang melakukan dosa bukanlah mu’min dan bukan pula kafir, tetapi
menduduki tempat antara keduanya. Dalam artian mereka memberi ststus orang yang
berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mu’min dan kafir.
Teori baru yang
dikemukakan oleh Ahmad Amin, menerangkan bahwa nama Mu’tazilah sudah terdapat
sebelum adanya peristiwa wasil dan Hasan Al-Basri dan sebelum timbulnya pendapat
tentang posisi dantara dua posisi. Nama Mu’tazilah
diberikan kepada orang yang tidak mau berintervensi dalam pertikaian
politik yang terjadi pada zaman Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, ia
menjumpai pertikaian disana: satu golongan mengikuti golongan itu, sedang
golongan lain menjauhkan diri ke kharbita. Oleh kerena itu dalam surat yang
dikirimnya kepada Ali bin Abi Thalib, Qais menamakan golongam yang menjauhkan
diri Mu’tazilin, sedang Abu Al-Fida menamainya dengan Mu’tazilah.
Aliran dari
golongan Khalifah Abbasiyah (Mu’tazilah) berpendirian bahwa Qur’an
“Makhluk/baharu” aliran salaf menentang keras pendirian Mu’tazilah itu dan
berpendirian bahwa Qur’an itu “Azali/Qadim”
B. AL-USHUL
AL-KHAMSAH: LIMA
AJARAN DASAR TEOLOGI MU’TAZILAH
1. AT-TAUHID
At-tauhid (pengesaan Tuhan) merupakan prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam Islam memegang
dokrin ini. Namun bagi Mu’tazilah, Tauhid memiliki arti yang spesipik. Tuhan
harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaan-Nya.
Tuhanlah satu-satunya yang Esa, dan tak ada satupun yang menyamai-Nya. Oleh
kerena itu, hanya Dialah yang Qadim. Bila ada yang Qadim lebih dari satu, maka
telah terjadi berbilangnya Dzat yang tak berpermulaan.
Untuk memurnikan
keesaan Tuhan, Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat,
penggambaran fisik Tuhan, dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satupun yang
menyerupai-Nya. Dia Maha Melihat, Mendengar, Kuasa, Mengetahui, sebagainya.
Namun, mendengar, kuasa, mengetahui, dan sebagainya itu bukan sifat, melainkan
Dzat-Nya. Menurut mereka sipat adalah sesuatu yang melekat.
Bila sifat Tuhan
yang Qadim, berarti ada dua yang Qadim, yaitu zat dan sifat-Nya. Wasil bin
Atha, seperti dikutip oleh Asy-syahratsani mengatakan, “Siapa yang mengatakan
sifat yang Qadim berarti telah menduakan Tuhan.” Ini tidak dapat diterima,
karena ini merupakan perbuatan syirik.
2. AL-ADL
Al-Adl berarti Tuhan Yang Maha Adil. Ajaran tentang keadilan
ini berkait erat dengan beberapa hal antara lain sebagai berikut:
- Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah,
melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan
kejuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak. Manusia benar-benar bebas
menentukan pilihan perbuatannya; baik atau buruk. Tuhan hanya menyuruh dan
menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan tentulah
baik, dan apa yang dilarangnya tentulah buruk.
- Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaikdisebut
Ash-shalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik,
bahkan terbaik bagi manusia. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan
berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan
juga tidak maha sempurna.Bahkan menurut An-Nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah,
Tuhan tidak dapat berbuat jahat. Konsep ini berkaitan dengan kebijaksanaan,
kemurahan, dan kepengasihan Tuhan, yaitu sifat-sifat yang layak bagi-Nya.
Artinya bila Tuhan tidak bertindak seperti itu berarti ia tidak bijaksana,
pelit, dan kasar/kejam.
- Mengutus Rasul
Mengutus Rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan, karena
alasan-alasan sebagai berikut:
- Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rosul kepada manusia.
- Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia.( Fir'aun berkata: "Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan." Q.S. Asy-syu’ara:29). Cara terbaik untuk maksud tersebut adalah dengan pengutusan rasul.
- Tujuan diciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.
3. AL-WA’D WA
AL-WA’ID
Al-wa’ad wa
al-wa’id berarti janji dan ancaman Tuhan yang Maha Adil dan Maha
Bijaksana.Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahala syurga bagi yang berbuat
baik, dan ancaman neraka bagi orang yang durhaka.Begitu pula janji Tuhan untuk
memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat akan dibalas-Nya dengan azab yang sangat pedih.
Ini sesuai dengan prinsip keadilan. Jelasnya, siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan siapapun yang berbuat jahat akan dibalas-Nya dengan azab yang sangat pedih.
Ajaran ketiga
ini tidak memberi peluang bagi Tuhan, selain menunaikan janji-Nya, yaitu
memberi pahala kepada orang yang taat
dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat.
Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia tobat. Kejahatan dan
kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang
termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin
mengampuninya. Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia dan tidak
melakukan perbuatan dosa.
4. AL-MANZILAH BAIN AL-MANZILATAIN
Inilah ajaran
yang mula-mula menyebabkan lahirnya mazhab Mu’tazilah.
Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (Mu’min) yang melakukan dosa
besar. Seperti tercatat dalam sejarah, Khawarij
manganggap orang tersebut sebagai kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah
berpendapat bahwa orang itu tetap mu’min dan dosa sepenuhnya diserahkan
kepada Tuhan.
Pokok ajaran
adalah bahwa mu’min yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mu’min
atau kafir, tetapi fasik.Izutsu, dengan mengutip Ibn Hazm, menguraikan
pandangan Mu’tazilah sebagai berikut: ‘Orang yang melakukan dosa besar disebut
fasik. Ia bukan mukmin bukan pula kafir,
bukan pula munafik.” Mengomentari pendapat tersebut, Izutsu menjelaskan bahwa
sikap Mu’tazilah adalah pembolehan
hubungan perkawinan dan warisan antara pelaku dosa besar dan Mukmin lain dan
dihalalkan binatang sembelihannya.
5. AL-AMR BI AL-MA’RUF WA AN-NAHY AN MUNKAR
Ajaran ini
adalah menyuruh kebajikan dan melarang kemunkaran. Ajaran ini menekankan
keberpikakan kepada kebenaran dan kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis
dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan
baik, diantaranya dengan menyuruh orang brbuat baik dan mencegahnya dari
kejahatan.
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam mengerjakan amal
ma’ruf nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh seorang tokohnya, Abd Al-
Jabbar, yaitu sebagai berikut:
- Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu mamang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
- Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
- Ia mengrtahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudharat yang lebih besar
- Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.
Al-Amr bil
Al-Ma’ruf wa an Nahy an munkar bukan monopoli konsep mu’tazilah Fase tersebut sering digunakan di dalam Al-Qur’an. Arti
asal Al-Ma’ruf adalah apa yang telah diakui dan diterima oleh masyarat karena
mengandung kebaikan dan kebenaran. Lebih spesifik lagi Al-Ma’ruf adalah apa
yang diterima dan diakui Allah. Sedangkan al-munkar adalah sebaliknya, yaitu
sesuatu yang tidak dikenal, tidak diterima, atau buruk. Fase tersebut berarti
seruan untuk berbuat sesuatu sesuai dengan keyakinan sebenar-benarnya serta
menahan diri dengan mencegah timbulnya perbuatan yang bertentangan dengan norma
Tuhan.
Perbedaan mazhab
Mu’tazilah dengan mazhab lain mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatanan pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah,
jika memang diperlukan, kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut. Sejarahpun telah
mencatat kekerasan yang pernah dilakukannya ketika menyiarkan ajaran-ajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Al-Qur’anul
karim. Al-Qur’an dan terjemahannya Departemen Agama R I
2.
Ilmu
Kalam. Dr. Abdul Rozaq, M.ag – Dr. Rosihon Anwar, M.ag
3.
Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf. Dr. Mustafa Zahri.
4.
Jalan
Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M
No comments:
Post a Comment