Monday, May 4, 2015

SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM




BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Filsafat pendidikan dipandang sebagai pembahasan yang sistematis tentang masalah-masalah pendidikan pada tingkatan filosofis yaitu menyelidiki suatu persoalan pendidikan hingga direduksi kedalam pokok persoalan metafisika, epistemologi, etika, logika, estetika maupun dari kombinasi dari semuanya itu.
Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan-persoalan tersebut dapat disederhanakan kedalam ketiga persoalan pokok yaitu :
1.      Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi perhatian metafisika atau ontologi bahwa dalam penyelenggara pendidikan Islam diperlukan pendirian mengenai pandangan dunia, manusia atau masyarakat yang bagimanakah yang diperlukan oleh pendidikan Islam.
2.      Pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, antara lain dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum, terutama dalam usahanya mengenai dan memahami hakikat pengetahuan menurut pandangan Islam.
3.      Pandangan mengenai nilai yang dipelajari oleh aksiologi, seperti masalah etika yang mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat dekat dengan pendidikan Islam, karena kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan dalam perumusan tujuan pendidikan Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana sejarah filsafat pendidikan islam?
2.      Bagaimana urgensi filsafat pendidikan islam?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    SEJARAH FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Dalam lintasan sejarah, umat islam pernah mengukir masa keemasan dan mencapai puncak peradaban dan kemajuan islam. Pendidikan islam dalam teori dan praktik selalu mengalami perkembangan, hal ini disebabkan karena pendidikan islam secara teoritik memiliki dasar dan sumber rujukan yang tidak hanya berasal dari nalar, melainkan juga wahyu. Kombinasi nalar dengan wahyu ini adalah ideal, karena memadukan antara potensi akal manusia dan tuntunan firman Allah SWT. Terkait dengan masalah pendidikan. Kombinasi ini menjadi ciri khas pendidikan islam yang tidak dimiliki oleh konsep pendidikan pada umumnya yang hanya mengandalkan kekuatan akal dan budaya manusia.
Harusnya dengan keterjalinan antara sumber akal dan wahyu tersebut dapat menghasilkan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang sempurna. Hal itu dibuktikan secara historis melalui upaya pengembangan konsep dan pemikiran pendidikan islam yang telah berjalan sejak dahulu dengan banyaknya karya tulis para ulama tentang pendidikan yang sebagian besar masih bisa diakses hingga saat ini. Hanya saja teori pendidikan mereka seakan tenggelamkarena masuknya tema-tema baru yang muncul belakangan ini terutama yang berasal dari referensi barat, sedemikian rupa sehingga timbul kesan seolah-olah perintis penemuan keilmuan pendidikan itu seluruhnya dari barat.[1]
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peradaban islam selalu dimasukkan dLm topik-topik khusus. Di bukunya histiry of the arabs, penulisnya philip K. Hitti (2006)mengungkapkan secara rinci mengenai peradaban islam dalam periodisasi kesejarahannya. Buku yang berjudul pijar peradaban manusia: denyut harapan revolusi yang disusun oleh franz dahler dan eka budianta, mengungkapkan zaman keemasan islam sebagai puncak kedua dalam penggunaan kesadaran rasional yang dicapai oleh kebudayaan islam abad pertengahan. Selain itu juga diketengahkan sosok –sosok kepribadian tersohor yang telah menyatukan filsafat yunani dengan ilmu alam, bumi, astrologi, matematika, kedokteran dan agama (franz dahler dan eka buduanta: 282)
Buku dimensi kreatif dalam filsafat ilmu yang disusun oleh tiga penulis: conny R. Semiawan, I made putrawan, dan TH. I. Setiawan, tidak melupakan kelahiran zaman modern yang diawali oleh perkembangan ilmu pengetahuan pada permulaan abad ke-14 di benua eropa. Perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri terkait dengan tiga sumber utamanya, yaitu dunia islam dan peradabannya (conny R. Semiawan: 21). Demikian pula yang dikemukakan jerome R. Ravertz dalam bukunya filsafat ilmu: sejarah dan ruang lingkupnya.
Diantara ungkapan dinyatakan bahwa kebudayaan islam paling relevan bagi ilmu eropa. Sejak abad ke-7 hingga abad ke-10 bahasa arab menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa yang terentang dari peria hingag spanyol. Di baghdad, pada abad ke-9 dilakukan penerjemahan terhadap sumber-sumber yunani ke bahasa arab,. Lalu pada abad ke-12 karya berbahasa arab diterjemahkan kedalam bahasa latin, dalam berbagai bidang keilmuan, dan akhirnya dalam bidang filsafat ilmu (jerome R. Ravertz: 21). Diluar itu pengembangan ilmu pengetahuan juga ditopang oleh perpustakaan. Keduanya berjalan seiring.
Dikemukakan oleh fazlur rahman , bahwa pertumbuhan yang tetap dan cepat dari perpustakan-perpustakaan semi peblik adalah ciri dari pendidikan islam zaman pertengahan. Para pejabat yang terkemuka dan mampu mengumpulkan buku-buku dalam jumlah yang besar dan menyediakannya untuk diprgunakan oleh para pencari ilmu pengetahuan. Kadang-kadang juga menyedekahkannya untuk dipergunakan oleh umum.  Perpustakaan tersebut berisi buku tentang segala macam masalah seperti, kesusteraan, ilmu-ilmu keislaman yang spesifik, (fazlur rahman, 1984: 265-266).
Menurut jerome R. Revertz, perpustakaan cordova di spanyol memiliki 500.000 buah buku, pada saat bangsa-bangsa di pyrenia utara paling-paling hanya mempunyai 5.000 buah buku jerome R. Ravertz: 20) melalui terjemahan dan karya para ilmuan muslim ini, perkembangan ilmuan eropa mulai menggeliat. Pengaruh tersebut dinilai sangat besar perannya dalam mendorong ide-ide yang revolusioner dan bersifat inovatif di eropa. Pengaruh yang mampu mendobrak pemikiran keliru yang sudah baku, baik yang menyangkut penafsiran fenomena alam maupun dalam melakuakan penalaran (conny R. Semiawan: 21). Adapun pendobrak pemikiran dimaksud adalah teori copernicus.
Teori copernicus membuka jalan bagi terjadinya peristiwa kehebohan intelektual atau lebih dikenal sebagai revolusi sains. Teori ini telah melahirkan tokoh-tokoh utamanya seperti tycho brahe (1546-1601), johannes kepler (1571-1630), galileo galilei (1564-1642), dan isac newton yang hidup antara tahun 1642- 1727 (john freely: 361). Menurut conny R. Semiawan tokoh-tokoh ini merupakan perintis dalam membentuk mata rantai untuk meneruskan perkembangan ilmu. Termasuk meletakkan dasar-dasar disiplin ilmu yang kemudian dikenal sebagai filsafat ilmu (conny R. Semiawaan: 21-22). Meskipun demikian, teori capernicus itu masih terangkai dengan karya para pendahulunya.
Menurut george saliba, metode matematika ibn al-shatir dan para pendahulunya membuka jalan untuk teori copernican dengan memberikan kepadanya metode yang seragam dengan menggeser model geosentris menjadi model heliosentris (john freely, 2002: 360).
Memang hampir seluruh publikasi yang terkait dengan masalah ilmu pengetahuan dan para ilmuannya, sejarah, ataupun kebudayaannya, andil dunia islam terhadap peradaban dunia, tampaknya takpernah terlewatkan oleh penulisnya. Fakta sejarah ini setidaknya membuktikan bahwa islam bukan semata-mata teramu dari ajaran-ajaran yang bersifat normatif. Islam tidak hanya sebatas nama sebuah agama. Pemahaman terhadap islam, sebagai agama samawi yang muatan ajarannya dianggap hanya berisi norma-norma yang mengacu kepada kewajiban mematuhi perintah dan larangan tuhan semata.
Memisahkan nilai-nilai ajaran islam dengan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu pandangan yang keliru. Apalagi kalau sampai menganggap bahwa islam hanya sebagai sebuah agama an sich. Lebih nyasar lagi kalau pemahaman ini semakin dipersempit, hingga memberi kesan bahwa ajaran islam hanya mengakomodasi kepentingan hidup di akhirat, padahal al-quran dan al-hadis sebagai sumber utama ajaran islam, kandungannya tidak hanya berisi masalah ibadah semata.[2]
Demikianpula hanya dengan praktik pendidikan islam. Prektik pendidikan islam selalu mengalami dinamika dan pasang surut. Teori perkembangan sejarah menyatakan bahwa hubungan anatra masa lalu, sekarang, dan akan datang memiliki siklus yang saling bertautan. Julian marias (filosof spanyol) menyatakan bahwa masa sekarang memuat pengaruh unsur-unsur masa lampau, termasuk didalamnya adalah masa depan, unsur-unsur saat ini mempengaruhi perjalanan arah masa depan. Ibn khaldun menyatakan teori perkembangan sejarah berdasarkan pengamatannya pada kekuasaan raja-raja arab sejalan dengan pertumbuhan manusia yang mengalami masa kelahiran, pertumbuhan, dan kematian. Arnold toynbee menyebutkan bahwa tiap peradaban senantiasa mengalami masa pertumbuhan (rise), puncak kejayaan (peak), dan kemunduran (decline).tidak asalah kalau ada pepatah menyatakan bahwa hidup ini ibarat roda sekali di atas, lain kali di bawah. Atau, betapapun tingginya burung terbang, tentunya akan turun kepermukaan juga. Namun demikian, teori siklus perkembangan tersebut bisa kita teruskan satu lagi periode pasca kemunduran, yaitu periode pembaruan dan upaya kebangkitan kembali untuk mencapai puncak kejayaan. Renaissance yang terjadi di barat merupakan contoh yang tepat untuk menjelaskan hal ini.
Teori-teori perkembangan diatas dapat digunakan untuk memahami dinamika pendidikan islam. Terkait dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam khususnya, dapat dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW. Sampai akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M.[3]
1.      PERIODE PERTMBUHAN
Masa ini merupakan masa awal pertumbuhan dan persemaian nilai-nilai ke-islam-an, dimana karakteristik pendidikan islam berpusat pada sumber al-qur’an dan hadis secara murni. Ketika nabi muhammad SAW. Masih hidup, praktik pendidikan islam mengikuti tuntunan firman Allah SWT. Dan teladan beliau. Tujuan pendidikan islam waktu itu adalah untuk membentuk sikap takwa serta penanaman nilai akhlak mulia. Pada saat ini, pendidikan islam belum terwujud dalam bentuk konsep dan pemikiran yang tertuang dalam karya tulis atau disiplin ilmu secara spesifik, namun praktik pendidikan yang dilakukan oleh nabi muhammad Saw. Baik keluarga maupun masyarakat, menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip pendidikan yang terus menerus menjadi sumber inspirasi untuk dipelajari.
Setelah wafatnya nabi muhammad SAW., tampuk kepemimpinan umat dipegang oleh khulafa’ al-rasyidin. Abu bakar (632-634 M) merupakan halifa pertama yang melakukan konsolidasi kekuasaan terhadap semenanjung arabia hingga masuk ke irak dan syria. Khalifah ke dua, umar bin al-khattab (634-644 M) melanjutkan perkembangan islam sampai ke mesopotamia, mesir, syria, palestina, dan sebagian besar wilayah persia, tabristan, azerbaijan, armenia, serta beberapa bagian wilayah turki.
Usman bin Affan (644-656 M), merupakan khalifah ke tiga dengan latar belakang pedagang kaya dan termasuk diantara mereka yang pertama kali masuk islam. Ali bin abi talib (656-661 M), keponakan dan menantu nabi muhammad Saw., merupakan khalifah ke empat yang populer dengan ketakwaan, keluasan pengetahuan, keberanian, dan kedekatannya dengan nabi muhammad saw. [4]

2.      PERIODE KEJAYAAN
Masa pertumbuhan diatas menuai hasilnya terutama pada masa khalifah abbasiyah yang merupakan masa kedua, yaitu peride kejayaan. Pada masa ini islam mengalami masa keemasan (golden ages).
Dubidang keilmuan, ilmu-ilmu ke-islam-an yang bersumber dari wahyu tumbuh menjadi disiplin ilmu-ilmu agama yang sangat rinci sehingga menjadi ilmu-ilmu cabang dan raningna. Munculnya ilmu-ilmu al-Quran, ilmu-ilmu hadis, hukum islam, teologi, tasawuf, dan lain-lain, benar-benar menandai bangkitnya ilmu pengetahuan dikalangan umat islam.
Pada masa keemasan ini banyak bermunculan para tokoh dan cendekiawan muslim yang produktif dalam keilmuan. Dapat disebutkan sebagian kecil dari tokoh yang kajiannya terkait langsung dengan pendidikan adalah ibnu miskawaih dan al-ghazali.
Menurut ibnu miskawaih, syariat agama merupakan faktor penentu bagi lurusnya karakter manusia, karena rujukan utamanya adalah al-qur’an dan hadis.
Dalam bidang astronomi, umat islam dahulu telah berhasil memadukan tradisi bangsa india, persia, timur dekat kuno khususnya yunani, menjadi sebuah sintesis yang mengukur babak baru dalam sejarah astronomi sejak abad ke-8 dan seterusnya. Di bidang kelembagaan, lembaga pendidikan yang ada pad periode kemajuan ini juga bersifat integral, artinya tidak hanya mengembangkan ilmu-ilmu agama saja melainkan menyatu dengan ilmu-ilmu umum yang kita sebut sekarang dengan ilmu modern.
Kegemilangan masa abbasiyah mulai menurun seiring dengan munculnya konflik politik, perebutan kekuasaan, gaya hidup mewah para penguasa, dan krisis ekonomi umat, sehingga memperlemah kemajuan yang telah dicapai selama kurang lebig 5 abad sebelumnya.

3.      PERIODE KEMUNDURAN
Masa kemunduran terjadi setelah jatuhnya kekuasaan abbasiyah akibat berbagai faktor yang saling berkaitan. Diantaranya adalah:
a.       Persaingan antar bangsa
b.      Kemerosotan ekonomi
c.       Konflik sosial-keagamaan
d.      Ancaman dari luar[5]
4.      PERIODE PEMBARUAN
Pembaruan pemikiran pendidikan islam sebenarnya telah dilakukan para ulama dan cendekiawan muslim terdahulu, tanpa dibatasi oleh periode terdahulu, tanpa dibatasi oleh periode tertentu.
Bila dicermati, kondisi umat dan negara-negara islam saat ini masih dilanda oleh ketegangan politik, masalah kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dibidang sains dan teknologi, sekteranianisme, serta ketergantungan dengan negara asing, maka gerakan pembaruan ini harus dilakukan secara intensif.
B.     URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang pada saat ini baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanakan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanakan pendidikan itu sendiri.
Abdurrahman (1995) misalnya, mengemukan bahwa pelaksanakan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara didaktis-metodis seperti halnya pengajaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasa dari filsafat pendidikan model barat, sehingga lebih menekankan pada transmisi pengatahuan agama.” Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Ma’arif (1993) setelah menyajikan dialog antara Iqbal dan Rumi dalam konteks pendidikan Islam, berkesimpulan bahwa pondasi filosofis yang mendasari sistem pendidikan Islam selama ini masih rapuh, terutama pada tampak pada adanya bentuk dualisme dikotomis antara apa yang dikategorikan ilmu-ilmu agama yang menduduki fardu ‘ain, dan ilmu-ilmu sekuler yang paling tinggi berada pada posisi fardu kifayah, yang sering kali terabaikan dan bahkan tercampakan. Di samping itu, kegiatan pendidikan Islam yang seharusnya berorentasi ke langit (orientasi transedental), tampaknya belum tercermin secara tajam dan jelas dalam rumusan filsafat pendidikan Islam, dan bahkan belum dimilikinya. Karena itu penyusunan suatu filsafat pendidikan Islam merupakan tugas strategis dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam.
Buchori (1994) juga berkesimpulan bahwa ilmu pendidikan di Indonesia dewasa ini tampaknya mulai kehilangan jatih diri yang antara lain di sebabkan karena penelitian-penelitian lebih concern pada persoalan praktis operasional dan formal yang terdapat di sekolah. Sedangkan pemikiran ilmu pendidikan yang lebih bersifat fondasional, termasuk didalamnya filsafat pendidikan mengalami stagnasi, demikian pula riset-riset di dalamnya.
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia, dan seluruh proses hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan. Atau meminjam terma Lodge (1947) bahwa “Life is education and education is life”. Sebagai persoalan hidup maka pendidikan dalam pengembangan konsep-konsepnya perlu menggunakan sistem pemikiran filsafat tersebut di atas menyangkut metafisika, epistemologi, aksiologi dan logika, karena problema yang ada dalam  lapangan pendidikan juga berada dalam lapangan filsafat tersebut. Karena itu hubungan antara filsafat dan pendidikan adalah sangat erat.
Dengan demikian, filsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Berfilsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai-nilai dan cita-cita yang lebih baik, sedangkan mendidik adalah usaha merealisasikan nilai-nilai dan cita-cita itu dalam kehidupan dan dalam kepribadian manusia.
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka sebagai berikut:
1.      Dalam lapangan metafisika, antara lain diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan[6].
2.      Dalam lapangan epistemology, antara lain diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum. Kurikulum yang biasa diartikan sebagai serangkaian kegiatan atau sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, diibaratkan sebagai jalan raya yang perlu dilewati oleh peserta didik dalam usaha mengenal dan memahami pengetahuan. [7]
3.      Dalam lapangan aksiologi, yakni yang mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan, karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan. Di samping itu, pendidikan sebagai fenomena kehidupan social, kultual, dan keagamaan tidak dapat lepas dari sistem nilai.
4.      Dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan. Pelaksanaan pendidikan menghendaki seseorang mampu mengutarakan pendapat dengan benar dan valid sehingga diperlukan penguasaan logika.
Karena itu, hubungan antara filsafat dan pendidikan merupakan keharusan, terutama dalam menjawab persoala-persoalan pokok dan mendasar yang dihadapi oleh pendidikan. Brubacher (1955) sebagaimana dikutip oleh Ozmon dan Craver (1995) menyarankan agar persoalan-persoalan yang mendasar tentang pendidikan dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak demikian, dikhawatirkan akan terjadi :
1.      Pendidikan akan terapung-apung (tanpa tujuan).
2.      Tujuan-tujuan pendidikan akan samar-samar (meragukan), bertentangan, dan tidak menunjang kesetiaan.
3.      Ukuran-ukuran dasar pendidikan menjadi sangat longgar.
4.      Ketidakmenentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat.
5.      Sekolah-sekolah akan memberikan banyak kebebasan kepada peserta didik dan tidak mampu memupuk apresiasi terhadap otoritas dan kontrol.
6.      Sekolah akan menjadi sangat sekular dan mengabaikan agama.
Ibarat sebuah bangunan rumah, maka bangunan filsafat pendidikan Islam itu mencakup berbagai dimensi, yaitu :
a.                  Dimensi bahan-bahan dasar yang menentukan kuat atau tidaknya suatu fondasi bangunan. Dalam konteks filsafat pendidikan Islam berarti sumber-sumber atau semangat pemikiran dari para pemikir pendidikan Islam itu sendiri.
b.                 Dimensi fondasi bangunan itu sendiri, yang berupa prinsip atau dasar dan asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar) berpikir dalam menjawab persoalan-persoalan pokok pendidikan yang termuat dalam sistem (komponen-komponen pokok aktivitas) pendidikan Islam.
c.                  Dimensi tiang penyangga yang berupa struktur ide-ide dasar serta pemikiran-pemikiran yang fundamental yang telah dirumuskan oleh pemikir pendidikan Islam itu sendiri dalam mengembangkan, mengarahkan dan memperkokoh bangunan sistem pendidikan Islam.




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Terkait dengnan perkembangan pemikiran umumnya dan perkembangan islam khususnya, dapat dikemukakan periodisasi sebagai berikut: 1) periode pertumbuhan (rise) yang terjadi pada awal kemunculan islam sejak lahirnya nabi muhammad SAW. Sampai akhir masa umayah; 2) periode kemajuan (peak) yang berlangsung pada masa khilafah abbasiyah; dan 3) periode kemunduran (decline) yang terjadi setelah jatuhnya kota baghdad oleh tentara tartar pada 1258 M; serta 4) periode pembaruan yang berkembang secara intensifsejak abad ke-18 M..
Sistem pemikiran filsafat tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, maka :
1.        lapangan metafisika, diperlukan adanya pendirian mengenai pandangan dunia yang bagaimanakah yang diperlukan dalam pelaksanaan pendidikan.
2.        Dalam lapangan epistemology, diperlukan dalam penyusunan dasar-dasar kurikulum.
3.        Dalam lapangan aksiologi, yakni mempelajari nilai-nilai, juga sangat dekat dengan pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan, karena dunia nilai (etika dan estetika) juga menjadi dasar pendidikan, yang selalu dipertimbangkan dalam penentuan tujuan pendidikan.
4.        Dalam lapangan logika, sebagai cabang filsafat yang meletakkan landasan mengenai ajaran berpikir yang benar dan valid, sangat diperlukan dalam pendidikan kecerdasan.


DAFTAR PUSTAKA
Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011,
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013
Mustansyir Rizal Dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Celeban Timur: Pustaka Pelajar,2002,
Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia, Jakarta: Bumi Aksara, 2007,


[1] Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.1.
[2] Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hal. 239-243.
[3] Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal.3-4.
[4]Ibid, hal.4-5.
[5] Assegat Assegat, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hal. 12-16.
[6] Mustansyir Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Celeban Timur: Pustaka Pelajar,2002),hal.10.
[7] Surajiyo, Filsafat Ilmu Dan Perkembangannya Di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hal.152.

No comments:

Post a Comment