MAKALAH
DESAIN
PENDIDIKAN KARAKTER
Tentang:
KONSEP DASAR
DAN TEORI DESAIN
PENDIDIKAN
KARAKTER
Oleh:
Angga Hardianto
Febri Husandra
Helma Noveria
Oktariani
Saputri
Dosen
Pembimbing:
Dr. Hadi
Candra, S.Ag., M.Pd
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
KONSEP DASAR DAN TEORI DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Desain atau perencanaan merupakan sesuatu hal yang begitu penting bagi
seseorang yang akan melaksanakan tugas atau pekerjaannya, termasuk guru yang
memiliki tugas/pekerjaan mengajar (mengelola pengajaran). Supaya seorang guru
dapat menyusun perencanaan pengajaran dengan baik, maka harus memperhatikan
prinsip-prinsip pengajaran dan memahami strategi pengajaran.
Pendidik dituntut untuk menyediakan kondisi belajar untuk peserta didik
untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dipelajari oleh subyek
didik. Dalam hal ini peranan desain dalam kegiatan belajar mengajar sangat
penting, karena menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola
atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi dalam
pendidikan.
B. Rumusan Masalah
1.
Hakikat desain pendidikan karakter
2.
Model-model
dan pendekatan pengembangan desain pendidikan karakter
3.
Desain
pendidikan karakter pada konteks makro dan mikro.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
HAKIKAT DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
Desain adalah sebuah
istilah yang diambil dari kata design yang berarti perencanaan atau
rancangan. Ada pula yang mengartikan dengan “Persiapan”. Di dalam ilmu
manajemen pendidikan atau ilmu administrasi pendidikan, perencanaan disebut
dengan istilah planning yaitu “Persiapan
menyusun suatu keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian suatu
masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan
tertentu”.[1]
Herbert Simon (Dick dan Carey, 2006), mengartikan desain sebagai proses pemecahan
masalah. Tujuan sebuah desain adalah untuk mencapai solusi terbaik dalam
memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang tersedia.
Dengan demikian, suatu
desain muncul karena kebutuhan manusia untuk memecahkan suatu persoalan.
Melalui suatu desain orang bisa melakukan langkah-langkah yang sistematis untuk memecahkan suatu
persoalan yang dihadapi. Dengan demikian suatu desain pada dasarnya adalah
suatu proses yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan
rancangan untuk merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut
diujicobakan dan akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk menentukan hasil
tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun. [2]
Sedangkan
karakter secara etimologis, kata karakter (Inggris: Character) berasal dari
bahasa Yunani, eharassaen yang berarti “to engrave” (Ryan and
Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave” itu sendiri dapat diterjemahkan
menjadi mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily,
1995:214). Arti ini sama dengan istilah “karakter” dalam bahasa Inggris
(character) yang juga berarti mengukir, melukis, memahat, atau
menggoreskan.[3]
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat
keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia
buat
Desain
Pendidikan Karakter
Pengembangan
karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali,
dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara
lain pertimbangan:
a.
Filosofis:
Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 tentang sisdiknas,
b.
Teoretis:
teori pendidikan, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosial-budaya,
c.
Empiris:
berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren,
kelompok kultural, dll.
Lingkungan
satuan pendidikan perlu dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural
satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan
pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan
yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Pola ini ditempuh dengan
melakukan pembiasaan dengan pembudayaan aspek-aspek karakter dalam kehidupan
keseharian di sekolah dengan pendidik sebagai teladan.
Di
lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan
dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter
mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan sehingga menjadi kegiatan
keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing. Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah,
pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang bertujuan menyamakan
langkah dalam membangun karakter di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.
Pada
tahap evaluasi hasil, dilakukan perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan
dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik
sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu
berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan pikiran yang
argumentatif.
Dengan
pendidikan karakter tersebut, yang diterapkan secara sistematis dan
berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
1.
Desain Pendidikan
Budaya Sekolah
Budaya sekolah memiliki
cakupan yang sangat luas, pada umumnya mencakup kegiatan ritual, harapan,
hubungan sosial-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan
ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi
sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan
sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru,
konselor dengan peserta didik, antar tenaga kependidikan, antara tenaga
kependidikan dengan pendidik dan ppeserta didik, , dan antar anggota kelompok
masyarakat dengan warga sekolah sekolah. Interaksi internal kelompok dan
antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama
yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi,
kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa
kebangsaan, dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan
dalam budaya sekolah.
Adapun langkah dalam
mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah adalah menciptkan suasana atau
iklim sekolah yang cocok yang akan membantu transformasi guru-guru dan siswa,
juga staf-staf sekolah. Hal ini termasuk di dalamnya adalah objetive atau
tujuan yang tepat untuk sekolah, misi sekolah, kepemimpinan sekolah, kebijakan
dan visi pihak manajemen moral para staf dan guru, serta partisipasi
orang tua dan siswa. Sesunngguhnya, semua langkah dalam model pembelajaran
nilai-nilai karakter ini akan berkontribusi terhadap budaya sekolah.
Sebagai salah satu
contoh kecil tentang kebersihan lingkungan sekolah, baik di kamar mandi/WC, di
ruang kelas, di lorong-lorong maupun di luar gedung sekolah/taman sekolah. Hal
itu hanya dapat dilakukan di sekolah dengan dukungan manajemen sekolah yang
mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Kondisi
sekolah seperti itu dilaksanakan melalui program sekolah bersama antara
manajemen sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Di setiap sudut ruang,
terdapat tempat sampah yang dapat digunakan untuk menyimpan sampah kering dan
basah serta sampah yang dapat di daur ulang. Siswa dikondisikan untuk membuang
sampah ke tempat yang sesuai dengan jenis sampah dan melalui pembiasaan seperti
itu diharapkan kepedulian siswa menjadi lebih tinggi terhadap kebersihan
lingkungan.
Perencanaan dan
pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala
sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu
komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum melalui kegiatan-kegiatan
sebagai berikut:
a.
Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus
menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: upacara pada
hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan
lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap
dluhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran,
mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan yang lain dan sebagainya.
b.
Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu
juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan
yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang
harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan
sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi
sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik tersebut.
Contoh kegiatan tersebut adalah: membuang sampah tidak pada tempatnya,
berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bullying,
berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh dan sebagainya.
Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak
baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi,
menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani
menentang/mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji dan sebagainya.
c.
Teladan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang
lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga
diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan
tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan
bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan
tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan
contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai terebut.
Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur
kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga
kebersihan dan sebagainya.
d.
Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka
sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan tersebut. Sekolah harus
mencerminkan kehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai dalam budaya dan
karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah
ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat
belajar ditempatkan teratur.
e.
Menyesuaikan dalam
semua Mata Pelajaran
Praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab
mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada
kesan mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai
dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses
pembelajaran nilai-nilai karakter idealnya diintegrasikan di dalam setiap mata
pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam antar mata
pelajaran.
Persoalannya kini adalah bagaimana hubungan antara pedidikan karakter
dengan mata pelajaran? Keduanya tetap diperlukan dan harus saling
melengkapi. Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya
mata pelajaran dipahami sebagai pesan dan alat yaitu sebagai wahana pembudayaan
dan pemberdayaan individu.. Misalnya Guru Fisika harus sadar bahwa
pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam
memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai
sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut,
mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa
fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Pengembangan
pendidikan karakter seperti itu, dapat dilakukan melalui metoda pembelajaran
yang dipilih guru. Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi, guru
dapat memilih metoda diskusi atau siswa diminta presentasi. Untuk mengembangkan
kecakapan bekerja sama, disiplin, kerja kelompok dalam praktikum dapat
diterapkan. Yang penting adalah bahwa aspek-aspek tersebut sengaja didesain dan
dinilai hasilnya sebagai bentuk hasil belajar pendidikan karakter.
Ada banyak cara mengintergrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata
pelajaran, antara lain: Mengungkapkan nilai-nilai yang ada dalam mata
pelajaran, pengintegrasian langsung di mana nilai-nilai kakater menjadi bagian
terpadu dari mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan
dengan kejadian-kejadian serupa dalam kehidupan para siswa, mengubah hal-hal
negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi,
Menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup
orang-orang besar, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang
berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan
pelayanan, dan membuat kelompok kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai
kemanusiaan.
f.
Integrasi nilai dalam
kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatanko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna jika diisi
dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang menarik dan bermanfaat bagi
siswa. Kecenderungan saat ini adalah munculnya gejala keengganan siswa untuk
terlibat dalam kegiatan kesiswaan. Masih banyak siswa yang hanya belajar saja,
tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler.
Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau
tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan siswa yang tidak mendukung
peningkatan kepribadian diri. Misalnya kegiatannya bagus yaitu
seminar ilmiah, namun siswa banyak yang berkerumun di luar ruangan karena
menjadi panitia logistik, penerima tamu. Akhirnya siswa yang berorganisasi
menjadi panitia tidak mendapatkan pembelajaran dari seminar tersebut. Padahal
pekerjaan teknis sebenarnya dapat disederhanakan. Hal ini terpulang
kembali pada ada tidaknya pendampingan oleh guru yang membimbing kegiatan
kesiswaan. Jadi kegiatan yang bagaimana yang akan mengembangkan Pedidikan
Karakter?. Kegiatan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan
harus ada pelatih atau mentornya yang membimbing kemana arah kegiatan tersebut
akan dilaksanakan, walau tidak harus setiap saat ada.
g. Pembiasaan perilaku bermuatan nilai
Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, sekolah harus menerapkan totalitas
pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan
pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang
dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh siswa adalah pendidikan.
Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan
disekolah dapat dilakukan melalui : 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan,
4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan.Semuanya mempunyai pengaruh
yang tidak kecil dalam pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas
tersebut disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik
akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan.
Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam
kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian,
kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan.
Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman
sportivitas, kerja sama dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di
sekolah ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian,
seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi
Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkunan, Pertamanan,
Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa.
Selain dari itu, kehidupan
sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam
rangka desain pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh
sekolah dari masyarakat dan sebaliknya yang bisa diperoleh oleh masarakat dari
hadirnya sekolah itu. Antara sekolah dan masarakat harus mengadakan banyak
interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa terlibat dalam proses belajar
di sekolah yaitu: orangtua, masyarakat. Peran Orang tua. Agar model
pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, kita membutuhkan
orang tua yang benar-benar menjadi partner yang berkomitmen tinggi terhadap
proses belajar anak-anak mereka. Orangtua adalah guru di rumah, karenanya
mereka harus menganut visi yang sama dengan sekolah demikian pula dengan tujuan
sekolah. Orangtua mesti setuju dengan tujuan sekolah untuk menghasilkan
anak-anak yang baik yang memeiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika siswa berada di
rumah, orang tua mesti meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan
memberikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan guru mesti mengadakan
pertemuan untuk mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi siswa dan mesti
membuat terencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua
harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah dan membagikan
pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para siswa dan guru.
Komunitas atau
masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak.
Sekolah harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus menerus tumbuh
dan berkembang. Sekolah juga sedang dalam proses belajar karena selalu ada
interaksi antara setiap orang di sekolah dan komunitas. Guru dan siswa selalu
berhubungan dengan orangtua dan kerabat mereka di masyarakat. Berbagai kegiatan
yang dilakukan orang tua dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan
sekolah. Setiap orang di sekolah termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh
temapt-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dll sebagainya. Sebagai
bagian dari pembelajaran, siswa harus blajar melayani komunitas atau masyarakat
dalam pegembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang
diadakan di tempat-tempat ibadah. Sekolah mesti membantu komunitas untuk
mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika
komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar, sekolah akan mendapatkan
manfaat besar dari komunitas seperti ini.
B.
MODEL-MODEL DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
===> TAMBAHAN DARI DOSEN (CARI MODEL ADDIE)
A.
Model
Otonom
Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai mata
sebuah pelajaran tersendiri menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar
standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar,
metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu
merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran
tersendiri pendidikan karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru
mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat variasi program
karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.
Namun demikian model ini dengan pendekatan formal dan struktural
kurikulum dikhawatirkan lebih banyak menyentuh aspek kognitif siswa,tidak
sampai pada aspek afektif dan perilaku. Model seperti ini biasanya
mengasumsikan tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang
studi sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan
karakter akal gagal karena hanya mengisi intelektual siswa tentang
konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak terisi.
B.
Model
Integrasi
Ada pun model ke dua yang mengintegrasikan pendidikan karakter
dengan seluruh mata pelajaran ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah
pengajar karakter. Semua mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam
membentuk karakter positif siswa. Dengan model ini maka pendidikan karakter
menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah. Model ini dipandang
lebih efektif dibandingkan dengan model pertama, namun memerlukan kesiapan,
wawasan moral dan keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih sulit dari
pada pembelajaran karakter itu sendiri. Pada sisi lain model ini juga
menuntut kratifitas dan keberanian para guru dalam menyusun dan mengembangkan
silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
C.
Model
Suplemen
Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan pendidikan karakter
melalui sebuah kegiatan di luar jam sekolah dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama
melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh pihak sekolah
dengan seorang penanggung jawab. Kedua, melalui kemitraan dengan lembaga
lain yang memiliki kapabilitas dalam pembinaan karakter.
Model ini memiliki kelebihan berupa pengalaman kongkret yang
dialami para siswa dalam pembentukan karakter. Ranah afektif dan perilaku siswa
akan banyak tersentuh melalui berbagai kegiatan yang dirancang. Keterlibatan
siswa dalam menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan tersebut akan
membuat pendidikan karakter memuaskan dan menyenangkan. Pada tahap ini sekolah
menjalin kemitraan dengan keluarga dan masyarakat sekitar sekolah. Masyarakat
dimaksud adalah keluarga, siswa, organisasi, tetangga, dan kelompok atau
individu yang berpengaruh terhadap kesuksesan siswa di sekolah.
D.
Model
Kolaborasi
Model terakhir berupa kolaborasi dari semua model merupakan upaya
untuk mengoptimalkan kelebihan setiap model dan menutupi kekurangan
masing-masing pada sisi lain. Dengan kata lain model ini merupakan sintesis
dari model-model terdahulu. Pada model ini selain diposisikan sebagai mata
pelajaran secara otonom, pendidikan karakter dipahami sebagai tanggung jawab
sekolah bukan guru mata pelajaran semata. Karena merupakan tanggung jawab
sekolah maka setiap aktifitas sekolah memiliki misi pembentukan karakter. Setiap
mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan karakter dan penciptaan
pola pikir moral yang progresif. Sekolah dipahami sebagai sebuah miniatur
masyarakat sehingga semua komponen sekolah dan semua kegiatannya merupakan
media-media pendidikan karakter. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk
membawa siswa ke dalam pengalaman nyata penerapan karakter, baik sebagai
kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram maupun kegiatan insidentil sesuai
dengan fenomena yang berkembangan di masyarakat.
C.
DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER PADA KONTEKS MAKRO DAN MIKRO
Implementasi pendidikan karakter di Indonesia hendaknya
dilaksanakan secara menyeluruh yang meliputi konteks makro dan mikro. Konteks
makro dalam hal ini bersifat nasional yang meliputi konsep perencanaan dan implementasi
yang melibatkan seluruh komponen dan pemangku kepentingan secara nasional yang
diawali dengan sebuah kesadaran, bukan kepentingan sesaat.
Menurut Dasim Budiansyah (2010:56) secara makro pengembangan
karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan dan
evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang
digali, dikristalisasikan dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber,
antara lain pertimbangan: (1) Filosofis Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU No.
20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) Pertimbangan
teoritis-teori tentang otak (brain theories), psikologis, pendidikan, nilai dan
moral serta sosio-kultural (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan
praktik terbaik dari antara tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren,
kelompok kultural dan lain-lain.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses
pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu
peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan
pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan
pendidikan nasional.
Dalamkonteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia
pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan,
bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor
pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan,
komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda.
Sedangkan
pendidikan karakter dalam konteks mikro berlangsung dalam suatu satuan
pendidikan secara menyeluruh. Dan secara mikro pendidikan karakter dalam
konteks mikro dibagi dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu kegiatan belajar
mengajar dikelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan
pendidikan,kegiatan kurikuler serta ekstra kurikuler dan kegiatan keseharian
dirumah dan didalam masyarakat. Dalam implementasi kegiatan belajar mengajar
dikelas,pengembangan dan kegiatan pembentukan karakter dapat ditempuh melalui
dua cara. Pertama, menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata
pelajaran. Kedua, pendidikan karakter menjadi mata pelajaran tersendiri
dimana terpisah dari mata pelajaran lain. Hal ini memang cukup berat untuk dilakukan
mengingat sudah terlalu banyak muatan mata pelajaran yang dibebankan kepada
siswa. Walaupun dibeberapa negara lain pendidikan karakter menjadi mata
pelajaran yang terpisah dari mata pelajaran lainnya.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Desain
dapat diartikan sebagai sebuah perencanaan. Suatu desain pada
dasarnya adalah suatu proses yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian
mengembangkan rancangan untuk merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya
rancangan tersebut diujicobakan dan akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk
menentukan hasil tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun.
Karakter
adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk
hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.
Model-model
dan pendekatan pengembangan desain pendidikan karakter: (1) Model Otonom; (2) Model
Integrasi; (3) Model Suplemen (4) Model Kolaborasi.
Secara
makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan,
pelaksanaan dan dan evaluasi hasil.
Dalamkonteks
makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pelaksanaan pendidikan
karakter merupakan komitmen seluruh sektor
kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional.
Sedangkan
pendidikan karakter dalam konteks mikro berlangsung dalam suatu satuan
pendidikan secara menyeluruh.
DAFTA
PUSTAKA
Ahmad Rohani, (2004) Pengelolaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta.
Wina Sanjaya, (2008) Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran , Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Suyadi, (2013) Strategi
Pembelajaran Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Abdul Majid, (2012)
Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya.
[2]
Wina Sanjaya, Perencanaan
dan Desain Sistem Pembelajaran , (Jakarta : Kencana Prenada Media
Group, 2008) hlm 64-65
[3]
Suyadi, Strategi Pembelajaran Karakter (Bandung: Remaja Rosda Karya.
2013), hlm. 5
[4] Abdul Majid, Pendidikan Karakter
Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 38-40
No comments:
Post a Comment