Thursday, December 25, 2014

MAKALAH ULUMUL HADITS : INGKAR AS-SUNNAH



INGKAR SUNNAH

MAKALAH
ULUMUL HADITS

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10:
ANGGA HARDIANTO (07.224.12)
ROSI MARYANI (07.222.12)

PRODI: Pendidikan Bahasa Arab (PBA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) KERINCI
TAHUN AJARAN 2013-2014
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Seluruh umat Islam, baik yang ahli naql maupun yang ahli aql telah sepakat bahwa haits atau sunah merupakan dasar hukum Islam, yaitu salah satu dari sumber hukum Islam dan juga sepakat tentang diwajibkannya untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan untuk mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti Al-Quran. Hal ini karena hadits merupakan mubayyin terhadap Al-Quran. Tanpa memahami dan menguasai hadits, siapapun tidak akan bisa memahami Al-Quran. Sebaliknya, siapapun tidak bisa memahami hadis tanpa memahami A-Quran karena Al-Quran merupakan dasar hukum pertama, yang didalamnya berisi garis besar syariat, dan hadis merupakan dasar hukum ke dua, yang didalamnya berisi penjabaran dan penjelasan Al-Quran. Dengan demikian, antara hadis dan Al-Quran memiliki kaitanyang sangat erat, yang satu sama lain tidak bisa dipisah-pisahkan atau berjalan sendiri-sendiri.[1]
Dalam kaitannya dalam masalah ini, Muhammad Ajjaj Al-Khatib mengatakan:
Al-Quran dan As-Sunnah (Al-Hadits) merupakan dua sumber hukum Syariat Islam yang tepat, sehingga umat Islam tidak mungkin mampu memahami syariat Islam, tampa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut, mujtahid dan orang alim pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah ssatu dari keduanya.[2]
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam, dapat di lihat pada bab selanjutnya.


BAB II
PEMBAHASAN
INGKAR AS-SUNNAH
A.    PENGERTIAN INGKAR AS-SUNNAH
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah. Hal ini mengakibatkan tertolaknya sunnah, baik sebagian maupun keseluruhannya.[3]
Penyebutan ingkar as-sunnah tidak semata-mata berarti penolakan total terhadap sunnah. Penolakan terhadap sebagian sunnah pun termasuk dalam kategori ingkar sunnah, termasuk didalamnya penolakan yang berawal dari sebuah konsep berfikiryang dalamnya penolakan dari sebuah konsep berfikir yang janggal atau metodologi khusus yang diciptakan sendiri oleh segolongan orang- baik masa lalu maupun sekarang- sedangkan konsep tersebut tidak dikenal dan diakui oleh ulama hadis dan fiqih.[4]
Ada tiga jenis kelompok ingkar As-sunnah.
Pertama, kelompok yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan.
Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau tersirat.
Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat metawatir) walaupun sahih. Mereka beralasan dengan ayat: QS. An-Najm : 28
( ¨bÎ)ur £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $\«øx© ÇËÑÈ
Artinya: “.... sesungguhnya persangkaan itu tidak berguna sedikitpun terhadap kebenaran. (QS. An-Najm ayat 28)
Mereka berhujjah dengan ayat itu, tentu saja menurut penefsiran model mereka sendiri.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN INGKAR AS-SUNNAH
1.      Ingkar As-Sunnah Klasik
Pada masa sahabat, seperti dituturkan oleh Al-Hasan Al-Basri (w. 110 H), ada sahabat yang kurang begitu memperhatikan kedudukan sunnah Nabi SAW., yaitu ketika sahabat Nabi SAW  ‘Imran bin Husain (w. 52 H) sedang mengajarkan hadis. Tiba-tiba ada seorang yang meminta agar ia tidak usah mengajarkan hadis, tetapi cukup mengajarkan Al-Quran saja. Jawab ‘Imran,”tahukah anda, seandainya anda dan kawan-kawan anda hanya memakai Al-Quran, apakah anda dapat menemukan dalam Al-Quran bahwa salat dhuhur itu empat rakaat, salat ashar empat rakaat, dan salat magrib tiga rakaat?”
Apabila anda hanya memakai Al-Quran, dari mana anda tahu tawaf (mengelilingi kabah) dan sa’i antara safa dan marwa itu tujuh kali?
 jawaban itu, orang tersebut berkata, anda telah menyadarkan saya. Mudah-mudahan, Allah selalu menyadarkan anda. Akhirnya sebelum wafat, orang itu menjadi ahli Fiqh.[5]
Gejala-gejala ingkar as-sunnah seperti diatas, masih merupakan sikap-sikap individual, bukan merupakan sikap kelompok atau mahzab, meskipun jumlah mereka dikemudian hari semakin bertambah. Suatu hal yang patut dicatat, bahwa gejala-gejala itu tidak terdapat di negeri  Islam secara keseluruhan, melainkan secara umum terdapat di Irak. Karena ‘Imran bin Hushain dan Ayyub As-Sakhtiyani, tinggal di Basrah Irak. Demikian pula, orang-orang yang disebutkan oleh imam Syafi’i sebagai pengingkar sunnah juga tinggal di Basrah. Karena itu, pada masa itu di Irak terdapat faktor-faktor yang menunjang timbulnya faham ingkar as-sunnah.[6]
Dan itulah gejala-gejala ingkar as-sunnah yang timbul dikalangan para sahabat. Sementara menjelang akhir abat kedua hijriah muncul pula kelompok yang menolak sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, disamping ada pula yang menolak sunnah yang bukan mutawatir saja.[7]
a.      Khawarij dan Sunnah
Dari sudut kebahasaan, kata khawarij merupakan bentuk jamak dari kata kharij, yang berarti ‘sesuatu yang keluar’. Sementara menurut pengertian terminologis, khawarij adalah kelompok atau golongan yang tidak loyal kepada pimpinan yang sah. Dan yang dimaksud dengan khawarij disini adalah golongan tertentu yang memisahkan diri dari kepemimpinan Ali bin Abu Thalib r.a.
Apakah khawarij menolak sunnah ? ada sebuah sumber yang menuturkan bahwa hadis-hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat sebelum kejadian fitnah (perang sudara antara Ali bin Abu Thalib r.a. dan Mu’awiyah r.a.) diterima oleh kelompok khawarij. Degan alasan bahwa sebelum kejadian itu para sahabat dinilai sebagian orang-orang yang adil (muslIm yang sudah akil-balig, tidak suka berbuat maksiat, dan selalu menjaga martabatnya). Namun, sesudah kejadian fitnah tersebut, kelompok khawaarij menilai mayoritas sahabat Nabi SAW sudah keluar dari Islam. Akibatnya, hadis-hadis yang diriwayatkan para sahabat sesudah kejadian itu ditolak kelompok khawarij.[8]
b.      Syi’ah dan Sunnah
Kata syi’ah berarti ‘para pengikut’ atau ‘para pendukung’. Sementara menurut pengertian terminologis, syi’ah adalah golongan yang menganggap bahwa ‘Ali bin Abu thalib r.a. lebih utama daripada khalifah sebelumnya (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman), dan beroendapat bahwa Ahl-Bait (keluarga Nabi SAW) lebih berhak menjadi khalifah daripada yang lain.
Golongan Syi’ah ini terdiri dari berbagai kelompok dan tiap-tiap kelompok menilai kelompok lain sudah keluar dari Islam. Sementara kelompok yang masih eksis hingga sekarang adalah kelompok Itsna ‘Asyariyah. Kelompok ini menerima hadis Nabawi sebagai salah satu sumber syariat Islam. Hanya saja, ada perbedaan mendasar antara kelompok syi’ah ini dengan golongan Ahl-AlSunnah (golongan mayoritas umat Islam), yaitu dalam hal penetapan hadis.
Golongan syi’ah menganggap bahwa sepeninggal Nabi SAW., mayoritas para sahabat sudah murtad (keluar dari Islam),kecuali beberapa orang saja yang menurut mereka masih tetap muslim. Karena itu golongan syi’ah menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas para sahabat tersebut. Syi’ah hanya menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Ahl Al-Bait saja.[9]
c.       Mu’tazilah dan Sunnah
Arti kebahasaan dari mu’tazilah adalah “sesuatu yang mengasingkan diri”. Sementara yang dimaksudkan disini adalah golongan yang mengasingkan diri dari mayoritas umat Islam karena mereka berpendapat bahwa seorang muslim yang fasiq (berbuat maksiat) tidak dapat disebut mukmin atau kafir. Adapun golongan Ahl As-Sunnah berpendapat bahwa orang Muslim yang berbuat maksiat tetap sebagai mukmin, meskipun ia berdosa. Pendapat mu’tazilah ini muncul pada masa Al-Hasan Al-Basri, dan dipelopori oleh Washil bin ‘Ata (w. 131 H).
Apakah mu’tazilah menolak sunnah? Syekh MuhammadAl-Khudari Beik berpendapat bahwa mu’tazilah menolak sunnah. pendapat ini berdasarkan adanya diskusi antara Imam Asy-Syafi’i (w. 204 H) dan kelompok yang mengingkari sunnah. Sementara kelompok atau aliran pada waktu itu di Bashrah Irak adalah Mu’tazilah. Prof. Dr. Al- Siba’i tampaknya sependapat dengan pendapat Al-Khudari ini.[10]
Imam As-Syafi’i memang menuturkan perdebatannya dengan orang yang menolak sunnah, namun beliau tidak menjelaskan siapa orang yang menolak sunnah itu. Sementara sumber-sumber yang menerangkan sikap mu’tazilah terhadap Sunnah masih terdapat kerancuan, apakah mu’tazilah menerima Sunnah secara keseluruhan, menolak seluruhnya, atau hanya menerima sebagian Sunnah saja.
Ada sebagian Ulama Mu’tazilah yang tampaknya menolak Sunnah, yaitu Abu Ishak Ibrahimbin Sajyar, yang populer dengan sebutan Al-Nadhdham (w. 221-223 H). Ia mengingkari kemukjizatan Al-Quran dari segi susunan bahasanya, mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad SAW., dan mengingkari hadis-hadis yang tidak dapat memberikan pengertian yang pasti untuk dijadikan sebagai sumber syari’at Islam.
d.      Pembela Sunnah
Pada masa klasik, Imam As-Safi’i  telah memainkan perannya dalam menundukkan kelompok pengingkar sunnah. Seperti telah disebutkan, dalam kitabnya Al-Umm, beliau menuturkan pendapatnya dengan orang yang menolak hadis. Setelah melalui perdebatan yang panjang, rasional, dan ilmiah, pengingkar sunnah akhirnya tunduk dan menyatakan menerima hadis. Oleh karena itu Imam As-Syafi’i kemudian diberi julukan sebagai Nashir As-Sunnah (pembela Sunnah).

2.      Ingkar As-Sunnah Masa Kini
Sejak abat ketiga sampai abat keempat belas Hijriah, tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan orang Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik) sudah lenyap ditelan masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar As-Sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.
Apabila ingkar As-Sunnah klasik masih banyak yang bersifat perorangan dan tidak menamakannya mujtahid atau pembaharu, ingkar As-Sunnah modern banyak yang bersifat kelompok yang terorgnisasi, dan tokoh-tokohnya banyak yang meng klaim dirinya sebagai mujtahid dan pembaharu.
Apabila para pengingkar Sunnah pada masa klasik mencabut pendapatnya setelah mereka menyadari kekeliruannya, para pengingkar sunnah pada masa modern banyak yang bertahan pada pendiriannya, meskipun pada meraka yang telah yang diterangkan urgesi Sunnah dalam Islam. Bahkan, diantara mereka, ada yang tetap menyebarkan pemikiran secara diam-diam, meskipun penguasa setempat telah mengeluarkan larangan resmi terhadap aliran tersebut.
Kapan aliran Ingkar As-Sunnah modern itu lahir? Muhammad Mustafa Azami menuturkan bahwa ingkar As-Sunnah modern lahir di Kiro Mesir pada masa Syekh Muhammad Abduh (1266-1323 H/ 1849-1905 M). Dengan kata lain, Syekh Muhammad Abduh adalah orang yang pertama kali melontarkan gagasan ingkar As-Sunnah pada masa modern. Pendapat Azami ini masih diberi catatan, apabila kesimpulan Abu Rayyah dalam kitab nya Adhwa ‘ala As-Sunnah al-Muhammadiyah itu benar.
Abu Rayyah menuturkan bahwa Syekh Muhammad Abduh berkata, “Umat Islam pada masa sekarang ini tidak mempunyai imam (pimpinan) selain Al-Quran, dan Islam yang benar adalah Islam pada masa awal sebelum terjadinya fitnah (perpecahan)”. Beliau juga berkata, ”umat Islam sekarang tidak mungkin bangkit selama kitab-kitab ini (maksudnya kitab-kitab yang diajarkan di Al-Azhar dan sejenisnya) masih tetap diajarkan. Umat Islam tidak mungkin maju tanpa ada semangat yang menjiwai umat Islam abad pertama, yaitu Al-Quran. Semua hal selain Al-Quran akan menjadi kendala yang menghalangi antara Al-Quran dan Ilmu serta amal."
Abu Rayyah dalam menolak Sunnah banyak merujuk pada pendapat Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha, sehingga kedua tokoh ini –khususnya Syeh Muhammad Abduh- disebut sebut sebagai pengingkar sunnah. Namun, benarkah Syekh Muhammad Abduh mengingkari Sunnah? Seperti dituturkan diatas, Azami masih belum memastikan hal itu karena ia hanya menukil pendapat Abu Rayyah yang belum dapat pastikan kebenarannya.

C.    ARGUMENTASI INGKAR AS-SUNNAH
1.      Agama Bersifat Kongkret dan Pasti
Mereka berpendapat bahwa agama harus dilandaskan pada suatu hal yang pasti. Apabila kita memanggil dan  memakai Sunnah, berarti landasan agama itu tidak pasti. Al-Quran yang kita jadikan landasan agama itu bersifat pasti, seperti dituturkan dalam ayat-ayat berikut :
(QS.Al-Baqarah ayat 1-2)
$O!9# ÇÊÈ y7Ï9ºsŒ Ü=»tGÅ6ø9$# Ÿw |=÷ƒu ¡ ÏmÏù ¡ Wèd z`ŠÉ)­FßJù=Ïj9 ÇËÈ
Artinya: Alif laam miin, Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS.Al-Baqarah ayat 1-2)
(QS. Al-Fatir ayat 31):
üÏ%©!$#ur !$uZøŠym÷rr& y7øs9Î) z`ÏB É=»tGÅ3ø9$# uqèd ,ysø9$# $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ 3 ¨bÎ) ©!$# ¾ÍnÏŠ$t6ÏèÎ/ 7ŽÎ6sƒm: ׎ÅÁt/ ÇÌÊÈ
 Artinya: Dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu yaitu Al Kitab (Al Quran) Itulah yang benar, dengan membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha mengetahui lagi Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (QS. Al-Fatir ayat 31):
Sementara apabila agama Islam itu bersumber dari hadis, ia tidak akan memiliki kepastian sebab keberadaan hadis –khususnya hadis ahad- bersifat dhanni (dugaan yang kuat), dan tidak sampai pada paringkat pasti. Karena itu, apabila agama Islam berlandaskan hadis –dismping Al-Quran- Islam akan bersifat ketidak pastian. Dan ini dikecam oleh Allah dalam Firman-nya, QS. An-Najm (pakistan)
2.      Al-Quran Sudah Lengkap
Dalam syarit Islam, tidak ada dalil lain, kecuali Al-Quran. Allah SWT berfirman:QS. Al-An’aam ayat 38:
4 $¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx«
Artinya: Tidaklah Kami Alfakan sesuatu pun dalam Al-Kitab (Al-Quran)
Jika kita berpendapat Al-Quran masih memerlukan penjelasan, berarti kita secara tegas mendustakan Al-Quran dan kedudukan Al-Quran yang membahas segala hal secara tutas. Padahal, ayat diatas membantah Al-Quran masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, dalam syari’at Allah di ambil pegangan lain, kecuali Al-Quran. Argumen ini dipakai oleh Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.[11]

3.      Al-Quran Tidak Memerlukan Penjelas
Al-Quran tidak memerlukan penjelasan, justru sebaliknya Al-Quran merupakan penjelasan terhadap segala hal. Allah berfirman, QS. An-Nahl 89:
tPöqtƒur ß]yèö7tR Îû Èe@ä. 7p¨Bé& #´Îgx© OÎgøŠn=tæ ô`ÏiB öNÍkŦàÿRr& ( $uZø¤Å_ur šÎ/ #´Íky­ 4n?tã ÏäIwàs¯»yd 4 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ
Artinya: (dan ingatlah) akan hari (ketika) kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. dan kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
(QS. Al-An’am 114):
uŽötósùr& «!$# ÓÈötGö/r& $VJs3ym uqèdur üÏ%©!$# tAtRr& ãNà6øŠs9Î) |=»tGÅ3ø9$# Wx¢ÁxÿãB 4 tûïÏ%©!$#ur ÞOßg»oY÷s?#uä |=»tGÅ3ø9$# tbqßJn=ôètƒ ¼çm¯Rr& ×A¨t\ãB `ÏiB y7Îi/¢ Èd,ptø:$$Î/ ( Ÿxsù ¨ûsðqä3s? šÆÏB tûïÎŽtIôJßJø9$# ÇÊÊÍÈ
Artinya: Maka patutkah Aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal dialah yang Telah menurunkan Kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? orang-orang yang Telah kami datangkan Kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
Ayat-ayat ini dipakai dalil oleh para pengingkar Sunnah, baik dulu maupun kini. Mereka menganggap Al-Quran sudah cukup karena memberikan penjelasan terhadap segala masalah. Mereka adalah orang-orang yang menolak hadis secara keseluruhan, seperti Taufiq Sidqi dan Abu Rayyah.

D.    BANTAHAN TERHADAP INGKAR SUNNAH
1.      Bantahan terhadap Argumen pertama
Alasan mereka bahwa sunnah itu dhanni ( dugaan kuat ) sedang kita di haruskan mengikuti yang pasti ( yakin ), masaklahnya tidak demikain. Sebab , Al-qur’an sendiri meskipun kebenarannya sudah di yakini sebagai Kalamullah- tidak semua ayat memberikan petunjuk hukumyang pasti sebab banyak ayat yang pengertiannya masih Dzanni ( Ad-dalalah ). Bahkan, orang yang memakai pengertian ayat seperti ini juga tidak dapat menyakinkan bahwa pengertian itu bersifat pasti ( yakin ). Dengan demikian, berarti Ia jga tetap mengikuti pengertian ayat yang masih bersifat dugaan kuat( dzanni Ad-dalala).
Adapun firman Allah swt ;
$tBur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqè=yèøÿtƒ ÇÌÏÈ  
36. Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. ( Q.S.Yunus: 36)
Yang di maksud dengan kebenaran ( Al-haq) di sini adalah masalah yang sudah tetap dan pasti. Jadi,maksud ayat ini selengkapnya adalah,bahwa dzanni tidak dapat melawan kebenaran yang sudah tetap denagn pasti, sedangkan dalam halmenerima hadis, masalahnya tidak demikian.
Untukmembantah orang-orang yang menolak hadis ahad, abu Al- husain al- basri Al mu’tazili mengatakan,”dalam menerima hadis- hadis ahad, sebenarnya kita memakai dali-dali pasti yang mengharuskan untunmenerima hadis itu” jadi, sebenarnya kita tidakmemakai dzanni yang bertentangan dengan haq,tetapi kita mengikuti atau memakai dzann yang memegang perintah Allah.
2.      Bantahan terhadap Argumen kedua dan ketiga
kelompok pengingkar sunnah,baik pada masa lalu maupun belakangan, umumnya ‘ kekurangan waktu ‘ dalam mempelajari Al- Qur’an. Hla itu di karena merka kebanyakan hanya memakai dalil Ayat 89surat An- nahl:
4 $uZø9¨tRur šøn=tã |=»tGÅ3ø9$# $YZ»uö;Ï? Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpyJômuur 3uŽô³ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÑÒÈ  
dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.( Q.S. An-nahl: 89 )
Berdasarkan teks Al-qur’an, rasulullah saw. Sajalah yang di beri tugas untuk menjelaskan kandungan Al-qur’an, sedangkan kita di wajibkan untuk menerima dan mematuhi penjelasan-penjelasan beliau, baik berupa perintah maupun larangan. Semua ini bersumber dari Al-qur’an. Kita tidak memasukkan unsur lain ke dalamAl-qur’an sehingga masih di Anggap memiliki kekurangan. Hal ini tak ubahnya  seperti orang yang di beri istana yang megah yang lengkap dengan segala fasilitasnya. Akan tetapi, ia tidakmau memakai lampu sehingga pada malam hari, istana itu gelap.sebab, menurut dia, istana itu sudah paling lengkap dan tidak perlu hal-hal lain. Apabila istana itu di pasang lampu-lampu dan lain-lain,berrarti iamasih memelurkan masalah lain, sebab kabel-kabel lampu mesti di sambung dengan pembangkit tenaga listrik di luar. Akhirnya ia menganggap bahwa gelap yang terdapat dalamistana itu sebenarnya sudah  merupakan cahaya.

E.     INGKAR SUNNAH DI INDONESIA
Paham Ingkar Sunah muncul di Indonesia secara terang-terangan  kira-kira  terjadi pada tahun 1980-an. Persisnya menurut Zufran Rahman (seorang peneliti pemikiran Ingkar Sunah dan Dosen IAIN Jambi) pada tahun 1982-1983. Tetapi  bukti  menunjukkan, bahwa pada 1981 paham ini sudah ada seperti yang terjadi di Bogor pimpinan oleh H. Endi Suradi dan  1982 aliran sesat yang diajarkan H. Sanwani asal kelahiran Pasar Rumput itu sudah berlangsung sejak November 1982.
Tokoh-tokoh Ingkar Sunah dan Pemikirannya
1. Ir. M Ircham Sutarto
    Ir. M. Ircham Sutarto  adalah Ketua Serikat Buruh Perusahaan Unilever Indonesia  di Cibubur Jawa Barat.  Menurut Hartono Ahmad Jaiz (Peneliti Ingkar Sunah) dialah tokoh Ingkar Sunah dan orang pertama yang menulis diktat dengan tulisan tangan.
Di antara ajarannya yang dimuat dalam Diktat dan  dikutip oleh Ahmad Husnan adalah sebagai berikut :
a.       Taat kepada Allah, Allah itu ghaib. Taat kepada Rasul, Rasulpun telah wafat. Jadi tidak ada jalan kedua-duanya untuk melaksanakan taat dengan arti yang sebenarnya (M Ircham Sutarto : 85).
b.      Allah telah mengajarkan al-Qur’an kepada Rasul. Rasul telah mengajarkan al-Qur’an kepada manusia. Al-Qur’an satu-satunya yang masih ada. Allah dan Rasul-Nya menunggal dalam ajaran agama ( H Ircham Sutarto : 82 & 85).
c.       Al- Qur’an adalah omongan Allah dan omongan Rasul. Itulah arti taat kepada Allah dan  kepada Rasul (M Ircham Sutarto : 52 & 85)
d.      Keterangan al-Qur’an itu ada di dalam al-Qur’an itu sendiri. Jadi tidak perlu dengan keterangan  yang disebut  al-sunah atau hadis (M Ircham Sutarto : 58)
e.       Semua keterangan yang datang dari luar al-Qur’an adalah hawa. Jadi hadis Nabipun termasuk hawa. Karena itu tidak dapat diterima  sebagai hujah dalam agama (M Ircham Sutarto : 22)
f.       Apa yang disebut Hadis-hadis Nabi itu tidak lain hanya dongeng-dongeng tentang Nabi yang didapat  dari mulut ke mulut. Timbulnya dari gagasan orang-orang yang hidup antara tahun 180 sampai dengan 200 setelah wafatnya Rasul ( M Ircham Sutarto : 68 & 70)
g.      Rasul tidak ada hak mengenai urusan perintah agama. Olehnya dibawakan ayat QS  Ali Imran/3 : 128 :
”Tidaklah ada (haq) wewenang bagi kamu  tentang urusan (perintah) sedikitpun”. (terjemahan M Ircham Sutarto)
h.      Perbedaan Muhammad sebagai Rasul dan Muhammad sebagai manusia ; Apabila Muhammad menyampaikan, membacakan mengajarkan al-Qur’an dan hikmah, di saat itu Muhammad sebagai Rasul. Sedang apabila tidak demikian, dalam arti Muhammad sedang melakukan segala sesuatu dalam kehidupan sehari-hari dengan segala fi’il dan qaulnya, di saat itu Muhammad sebagai manusia biasa. (M Ircham Sutarto  : 94)
i.        Semua manusia telah tersesat sebelum mendapat wahyu, termasuk Muhammad saw. Dalilnya QS. Al-Baqarah/2 : 198
Dan ingatlah kepadanya seperti yang telah kami tunjukkan kepadamu dan sesungguhnya kamu (Muhammad) sebelumnya benar-benar orang tersesat. (terjemahan M Ircham Sutarto: 15 & 16)
j.        Di dalam agama, perbuatan lahiriah merupakan pelengkap  batiniah atau iman (M Ircham Sutarto: 51)
 
2. Abdurrahman
            Diantara ajarannya:
a.       Tidak ada adzan dan iqamat pada saat akan melaknasankan salat wajib
b.      Seluruh salat masing-masing hanya dikerjakan dua rakaat.
c.       Puasa Ramadhan  hanya dilaksanakan bagi yang melihat bulan  saja berdasarkan QS. Al-Baqarah/2 : 185:
“ Karena  itu barang siapa  di antara kamu hadir ( di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.  Mereka memahami ayat ini bahwa yang wajib berpuasa adalah yang melihat bulan saja,  bagi yang tidak melihatnya tidak diwajibkan berpuasa, akhirnyua mereka tidak ada yang berpuasa karena mereka tidak melihatnya


3. Dalimi Lubis dan Nazwar Syamsu
      Dalimi Lubis salah seorang oknum karyawan Kantor Departemen Agama Padang Panjang, lulusan IKIP Muhammadiyah Padang. Menurut M Djamaluddin (tokoh pemberantasan Ingkar Sunah Indonesia)  dialah pimpinan gerakan Ingkar Sunah Sumatra Barat. Penyebaran paham Ingkar Sunah  dilakukan melalui tulisan-tulisannya baik dalam bentuk artikel  maupun buku dan kaset rekaman ceramahnya yang direproduksi oleh PT Ghalia Indonesia. Di antara tulisan artikel Dalimi Lubis tentang penghujatan terhadap perawi Hadis Abu Hurairah dimuat  di Suara Muhammadiyah No. 05/80/1995. Judul buku-buku karyanya antara lain ; Alam Barzah dan Adapun Hukum dalam Islam Hanya al-Qur’an Saja.  

4. As’ad bin Ali Baisa
Di antara ajarannya ialah sebagai berikut :
a. Shalat Jum’at harus dikerjakan  4 rakaat
b. Bagi yang terpaksa berbuka pada bulan suci Ramadhan karena sakit atau bepergian tidak perlu menggantinya. Sedangkan bagi wanita yang haid harus melakukan shalat.
c. Hadis Bukhari Muslim suatu Hadis yang bidayatul mujtahid (mujtahid pemula). Isinya banyak yang bertentangan dengan al-Qur’an dan merekalah sebagai pemecah umat Islam.
d. Orang yang habis mengambil air wudu jika terkencing dan buang angin tidak perlu repot-repot mengulangi wudunya, bisa terus shalat saja
e. Mi’raj Nabi hanyalah dongeng dan khayalan saja.













BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Ingkar as-sunnah adalah sebuah sikap penolakan terhadap sunnah Rasul, baik sebagian maupun keseluruhannya. Mereka membuat metodologi tertentu dalam menyikapi sunnah.
Ada tiga jenis kelompok ingkar As-sunnah.
Pertama, kelompok yang menolak hadis Rasulullah SAW secara keseluruhan. Kedua, kelompok yang menolak hadis-hadis yang tak disebutkandalam Al-Quran secara tersurat atau tersirat. Ketiga, kelompok yang hanya menerima hadis-hadis mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang setiap jenjang atau peridenya, tak mungkin mereka berdusta) dan menolak hadis-hadis ahad (tidak mencapai derajat metawatir) walaupun sahih.
Sejak abat ketiga sampai abat keempat belas Hijriah, tidak ada kalangan yang menunjukkan bahwa di kalangan orang Islam terdapat pemikiran-pemikiran untuk menolak Sunnah sebagai salah satu sumber syariat Islam, baik secara perorangan maupun kelompok. Pemikiran untuk menolak Sunnah yang muncul pada abad 1 Hijriah (ingkar As-Sunnah Klasik) sudah lenyap ditelan masa pada abad III H.
Pada abad keempat belas Hijriah, pemikiran seperti itu muncul kembali kepermukaan, dan kali ini dengan bentuk dan penampilan yang berbeda dari Ingkar As-Sunnah klasik. Apabila Ingkar As-Sunnah klasik muncul di Basrah, Irak akibat ketidaktahuan sementara orang terhadap fungsi dan kedudukan Sunnah, Ingkar As-Sunnah modern muncul di Kairo Mesir akibat pengaruh pemikiran kolonialisme yang ingin melumpuhkan dunia Islam.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Al-Quran terjemahan.
2.      Agus Solahudin,muhammad, Agus suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2008
3.      Mudasir, ilmu hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2010
4.      Daud Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari snouck Hugronje Hingga Harun Nasution. Bandung: syaamil. 2006
5.      Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Beirut: Dar Al-Ma’rifat. T.t. Juz I
6.      Muhammad Azami Musthafa. Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. Pustaka Hidayah. Jakarta. 1992
7.      Musthafa As-Siba’i. As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. 1980. Jilid I


[1] Agus Solahudin,muhammad, Agus suyadi. Ulumul Hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm,73.
[2] Mudasir, ilmu hadis. Pustaka Setia, Bandung, 2010, hlm 65.
[3]  Daud Rasyid. Sunnah di Bawah Ancaman: Dari snouck Hugronje Hingga Harun Nasution. Bandung: syaamil. 2006. Hlm. Vi.
[4]  Ibid. Hlm. v
[5]  Al-Hakim. Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihain. Beirut: Dar Al-Ma’rifat. T.t. Juz I. Hlm. 109-110
[6]  Muhammad Azami Musthafa. Methodologi Kritik Hadits. Terj. A. Yamin. Pustaka Hidayah. Jakarta. 1992. Hlm. 42
[7]  Ibid. Hlm. 42
[8]  Musthafa As-Siba’i. As-Sunnah wa Makanatuha fi At-Tasyri’ Al-Islami. Beirut: Al-Maktab Al-Islami. 1980. Jilid I.hlm. 22.
[9]  Azami. Op.cit. hlm. 43-44.
[10]  As-Siba’i. Op.cit. hlm 148
[11]  Solahudin. Op.cit. hlm. 51-52

No comments:

Post a Comment