MAKALAH
KAJIAN
AL-QUR’AN DAN HADITS
TENTANG
PENDIDIKAN KARAKTER
Tentang:
WAWASAN AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG
SIKAP RASA INGIN TAHU DAN MENGHARGAI
PRESTASI
Dosen
Pembimbing:
Dr. Hj.
WISNARNI, M.PdI/Dr. MUHAMMAD YUSUF, M.Ag
Oleh:
Angga Hardianto
NIM. 211017011
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
WAWASAN
AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG
RASA
INGIN TAHU DAN MENGHARGAI PRESTASI
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ketinggian dan keutamaan martabat insan daripada semua makhluk lain
terletak kepada beberapa keistimewaan yang Allah karuniakan khusus untuk anak
Adam.Keistimewaan itu ialah grand design atau rahasia Allah yang tidak
diberikan kepada makhluk lain. Allah SWT memberi tahu para malaykat bahwa
Dia akan menjadikan manusia sebagai khalifah dimuka buminya.[1]
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling sempurna dan ciptaan yang
terbaik. Ia dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini, Ibn Arabi melukiskan
hakikat manusia dengan mengtakan bahwa: “Tidak ada makhluk Allah yang lebih
bagus daripada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak,
berbicara, melihat, mendengar, berpikir dan memutuskan.[2]
Firman Allah ﷻ
:
لَقَدْ خَلَقْنَا
الإنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya” (Q.S. At-Tin : 4)
Salah satu dari berbagai karunia yang Allah berikan yaitu rasa ingin tahu
tentang sesuatu. Dan dikarenakan rasa ingin tahu inilah, manusia terus berusaha
untuk belajar, guna untuk menambah ilmu pengetahuan. Pada hakikatnya, manusia layaknya memiliki satu kunci yang sama
dimana kunci ini sangat menentukan kedudukan manusia apakah ia terhormat atau
rendah, baik atau buruk, bahagia atau menderita. Kunci itu adalah ilmu
pengetahuan, ia laksana cahaya bagi manusia, karena tanpa ilmu pengetahuan
manusia akan tersesat dan tak terarah dalam kegelapan dunia. Inilah mengapa
Allah SWT menurunkan anugerah akal dan pikiran bagi manusia untuk mencari ilmu
pengetahuan yang tak lain sebagai penerang dalam kehidupannya.
Sering
kali kita memiliki rasa penasaran dan rasa ingin tahu. Dalam banyak kesempatan
rasa penasaran ini begitu menggebu-gebu, sehingga kita tidak kuasa menolaknya.
Demi mengobati rasa penasaran ini, sering kali kita rela berkorban dengan
banyak hal: waktu, harta,tenaga, pikiran dan lainnya. Namun sayangnya, betapa
banyak hal-hal yang kita ingin ketahui ternyata termasuk hal yang terlarang
untuk kita ketahui.
Dikarenakan
rasa ingin tahu inilah, manusia akan terus berkembang dan berkarya, namun
didalam Islam, ada karya/prestasi yang baik dan ada yang buruk, dan yang
menetapkan apa yang baik itu adalah Tuhan, bukan manusia dan bukan pula nafsu
manusia. [3]
B.
Rumusan Masalah
a.
Wawasan Al-Qur’an dan Hadits tentang rasa ingin tahu.
b.
Wawasan Al-Qur’an dan Hadits tentang
menghargai prestasi.
C.
Manfaat penulisan
a.
Menambah wawasan mengenai rasa ingin tahu dan menghargai prestasi.
b.
Sebagai bahan diskusi dan tugas Mata Kuliah Wawasan AL-Qur’an dan Hadits
Tentang Pendidikan Karakter.
c.
Sebagai sumbangan pikiran baik forum maupun bagi penulis sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
WAWASAN AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG RASA INGIN TAHU
1.
Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, rasa ingin tahu diartikan sebagai perasaan atau sikap yang kuat
untuk mengetahui sesuatu atau dorongan yang kuat untuk mengetahui lebih banyak
tentang sesuatu.
Rasa ingin tahu adalah sikap
ingin mengetahui sesuatu dikarenakan adanya akal/pikiran/hati.
Manusia diberikan akal/hati oleh
Allah SWT, guna digunakan untuk berfikir. Manusia
diberi rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap sesuatu. Rasa ingin tahu itu
terkadang menjurus pada dua cabang pembelokkan dua sisi, yaitu positif dan
negatif.
2.
Rasa ingin tahu hal yang positif
Rasa ingin tahu positif akan memberikan dampak yang berguna apakah
itu untuk dirinya sendiri ataupun orang banyak. Rasa ingin tahu positif yang
kuat adalah modal untuk para ilmuwan untuk menjadi seorang ahli di bidangnya.
Rasa ingin tahu positif yang kuat ini terkadang menjadi sebuah pendorong bahkan
ketika kegagalan terjadi. Dengan rasa ingin tahu positif yang kuat, kegagalan
hanyalah menjadi kerikil untuk mencapai sebuah gunung raksasa. Rasa ingin tahu
positif inilah yang menjadi awal dari sebuah fantasi, imajinasi yang pada
akhirnya menghasilkan karya-karya besar.
Rasa ingin tahu yang positif tentu membawa banyak manfaat,
diantaranya, dapat memperkuat hubungan Rasa ingin tahu tentang orang-orang dan
lingkungan sekitar dapat membuat kehidupan sosial lebih kaya. Orang-orang yang
memiliki rasa ingin tahu sering dianggap sebagai pendengar yang baik dan cakap
berbicara.
Orang yang memiliki rasa ingin tahu cenderung membawa kesenangan
dan kebaruan dalam hubungan," ujar Ben Dwan, Ph.D. dari Universitas
Pennsylvania.
Kita umat manusia adalah makhluk yang sempurna diciptakan Tuhan di
muka bumi ini. Karena kita dianugerahkan dengan berbagai alat indera dan akal
pikiran . Sudah menjadi kodrat dari manusia yang memiliki rasa ingin tahu ,
menyebabkan manusia selalu berpikir dalam rangka mempertahankan kehidupannya.
Manusia merupakan makhluk yang dapat dan akan selalu berpikir . Mereka akan
selalu memiliki hasrat rasa ingin tahu dan ingin mengerti .
Dalam Al-Qur’an, banyak sekali kisah dan perintah yang dapat
membuat kita selalu memiliki rasa ingin tahu tetntang sesuatu. Sebagaimana
kisah nabi Musa Kalamallah A.S., dengan Nabi Khidir Waliyyullah A.S. Mulai dari
rasa ingin tahu tentang sosok seorang (Nabi Khidir) sampai kepada kebingungan
Musa terhadap perbuatan Khidir.
Firman Allah:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ
أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا
قَالَ إِنَّكَ لَنْ
تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
Artinya:
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku
mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"
Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak
akan sanggup sabar bersamaku (QS. Al-Kahfi : 66-67)
Banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dari
kisah nabi Musa dalam QS. Al-Kahfi. Diantaranya:
a.
Anjuran untuk tawadhu’ dan tidak sombong.
b.
Anjuran untuk selalu belajar dan memiliki rasa ingin tahu yang
kuat.
c.
Kewajiban melaksanakan ajaran yang telah disyariatkan sekalipun
akal tidak mampu mencernanya.
d.
Anjuran safar dalam Thalabul ‘Ilmi.
e.
Anjuran patuh terhadap perintah Murobbi.
Rasa ingin tahu terhadap sesuatu merupakan anjuran
Agama Islam, karena Allah telah menciptkan pasilitas untuk umat manusia, baik
itu pasilitas dari dalam diri (akal/fikiran/hati) maupun pasilitas dari luar
(alam semesta).
Firman Allah:
إِنَّ فِي خَلْقِ
السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَاخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لأولِي
الألْبَابِ
Artinya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal”
(Q.S. Ali Imran : 190).
Allah Swt
pada ayat 190 surah Ali Imran mengajak manusia untuk berpikir dan merenungi
tentang penciptaan langit-langit dan bumi. Kemudian pada ayat berikutnya Allah
Swt menjelaskan hasil dan buah dari berpikir ini.
Ayat ini
menjelaskan tentang keesaan Tuhan Sang Pencipta dan menyatakan bahwa apabila
manusia memikirkan dengan cermat dan menggunakan akalnya terkait dengan proses
penciptaan langit-langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, maka ia
akan menemukan tanda-tanda jelas atas kekuasaan Allah Swt maha karya dan
rahasia-rahasia yang menakjubkan yang akan menuntun para hamba kepada Allah Swt
dan hari Kiamat serta menggiring mereka pada kekuasaan Ilahi yang tak terbatas.
Tafsir Ibnu
Katsir
Salah satu
bukti kebenaran bahwa Allah merupakan Sang Pemilik atas alam raya ini, dengan
adanya undangan kepada manusia untuk berpikir, karena sesungguhnya dalam
penciptaan, yakni kejadian benda-benda angkasa, seperti matahari, bulan dan
jutaan gugusan bintang-bintang yang terdapat dilangit, atau dalam pengaturan
sistem kerja langit yang sangat teliti serta kejadian dan perputaran bumi pada
porosnya yang melahirkan silih bergantinya malam dan siang, perbedaannya baik
dalam masa maupun panjang dan pendeknya terdapat tanda-tanda kemahakuasaan
Allah bagi ulul albab, yakni orang orang yang memiliki akal yang
murni.
Kata (الباب) al-bab adalah
bentuk jamak dari (لب) lub yaitu “saripati/inti” sesuatu. Kacang misalnya,
memiliki kulit yang menutupi isinya. Isi kacang dinamai lub. Ulul
albab adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak
diselubungi oleh “kulit”, yakni kabut ide yang dapat melahirkan
kerancuan dalam berpikir. Orang yang merenungkan tentang penomena alam raya
akan dapat sampai kepada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan
Allah Swt.[4]
Asbabun
Nuzul:
Dalam suatu
riwayat dikemukakan bahwa orang Quraisy datang kepada orang Yahudi untuk
bertanya: “Mukjizat apa yang dibawa Musa kepada kalian?” Mereka menjawab:
“Tongkat dan tangannya terlihat putih bercahaya.” Kemudian mereka bertanya
kepada kaum Nasrani: “Mukjizat apa yang dibawa Isa kepada kalian?” Mereka
menjawab: “Ia menyembuhkan orang yang berpenyakit sopak, dan menghidupkan orang
yang mati.” Kemudian mereka menghadap Nabi Muhammad SAW., dan berkata: “Hai
Muhammad, coba berdoalah engkau kepada Rabb-Mu agar gunung Shafa ini dijadikan
emas.” Lalu Rasulullah SAW., berdoa. Maka turunlah ayat ini (QS. Ali Imran:
190)[5]
Sebagai petunjuk untuk memperhatikan apa yang telah ada, yang akan lebih
besarmanfaatnya bagi orang yang menggunakan akal. (Diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dan Ibnu Hatim, yang bersumber dari Ibnu Abbas.
Mengenai
rasa ingin tahu terhadap sesuatu, Rasulullah SAW, memberikan anjuran dalam hal
ini, sebagaimana banyak tertulis dalam hadits beliau:
-
HR. Imam Abu Dawud:
فَإِنَّمَا
شِفَاء العي السُؤَالُ
Artinya:
“Sesungguhnya obat
dari ketidak tahuan adalah bertanya”. (Hasan, HR Abu Dawud: 336, Ibnu Majah:
572, dan lainnya)
Makanya
tak heran banyak ditemukan riwayat tentang pertanyaan-pertanyaan sahabat
ridhwanullahi ‘alayhim kepada baginda nabi Muhammad sholallahu ‘alayh wasallam.
Misal amal apa yang paling baik, jika aku melakukan ini apakah akan begini, dan
sebagainya. Tak lain tak bukan yang melatar belakangi mereka adalah rasa
keingintahuan terhadap suatu hal. Baik berupa masalah aqidah, ibadah, hari
akhir dan sebagainya.
-
HR. Turmudzi
مَنْ خَرَجَ فِي
طَلَبِ الْعِلمِ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ حَتّى يَرْجِعَ
Artinya:
Barangsiapa
yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia berada dijalan Allah, hingga ia pulang.
[6]
-
H.R.Ibnu Majah
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”[7]
Selain
dari Ayat dan Hadits diatas, juga disebutkan didalam atsar sahabat yang mulia. Beliau
adalah Abdullah ibn Abbas rodhiyallahu ‘anhu. Pernah suatu hari ditanyakan
kepada beliau tentang rahasia kecerdasannya. Maka beliau menjawab :
لِسَانُ سُؤُول وَ قَلْبُ
عُقُوْل
Artinya:
Dengan lidah yang
senantiasa bertanya dan hati yang selalu berpikir.[8]
Rasa
ingin tahu yang positif sangat dianjurkan dalam Agama Islam, para nabi
terdahulu memiliki rasa ingin tahu yang sangat kuat.
Sebagaimana
kisah nabi Ibrahim as ingin tahu tentang Tuhan.
Nabi
Ibrahim as mulai menggunakan akal sehatnya untuk mencari Tuhannya yang
menciptakan jagad raya dan seisinya menjadi ada. Awalnya Nabi Ibrahim as menganggap
bintang yang menerangi malam itulah Tuhannya, namun Nabi Ibrahim as menolaknya
setelah bintang itu hilang cahayanya saat muncul bulan yang lebih terang.
(Dalam
Alquran: Surah Al An'naam:76)
فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ اللَّيْلُ رَأَى كَوْكَبًا قَالَ هَذَا
رَبِّي فَلَمَّا أَفَلَ قَالَ لا أُحِبُّ الآفِلِينَ
"Ketika
malam telah menjadi gelap, dia (nabi ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia
(nabi ibrahim) berkata: 'itulah Tuhanku, 'Tetapi tatkala bintang itu tenggelam,
dia (nabi Ibrahim) berkata: 'saya tidak suka kepada yang tenggelam,"
Lagi-lagi
Nabi Ibrahim as harus kecewa karena ternyata bulan juga tidak langsung
kenampakannya, hilang ketika fajar mulai menyingsing di pagi hari. Pagi harinya
ketika sang Surya memancarkan sinarnya yang membuat bumi terang benderang maka
Nabi Ibrahim as mengira telah menemukan apa yang dicarinya. Namun ternyata
matahari juga mengecewakan karena bisa hilang di waktu malam hari.
Nabi
Ibrahim as terus mencari siapakah sebenarnya Tuhannya, sampai akhirnya Nabi
Ibrahim as diperlihatkan keagungan dan kekuasaan Allah SWT.[9]
Selain
dari kisah nabi Ibrahim diatasa, nampaknya kisah Nabi Musa dengan nabi Khidir
juga bisa dijadikan contoh tentang memiliki rasa ingin tahu.
Mulai
dari keingintahuan nabi Musa mencari posisi nabi Khidir sampai kepada
keingintahuan nabi Musa terhadap ilmu nabi Khidir. Sebagaimana kisah yang
disebutkan dalam QS. Al-Kahfi: 66–67:
قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا
عُلِّمْتَ رُشْدًا
قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
“”Bolehkah
aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara
ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.’‘
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini mengetahui suatu ilmu
dari Allah yang hanya Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak mengetahuinya.
Sedangkan engkau juga mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah kepadamu saja,
yang aku tidak mengetahuinya.’
Musa berkata,
سَتَجِدُنِي إِن شَاء
اللَّهُ صَابِراً وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْراً
Insya
Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan
menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS. Al-Kahfi: 69)
Itulah jawaban yang sekaligus janji yang dikatakan oleh
Musa untuk meyakinkan Khidir. Akhirnya Khidirpun menerima Musa tetapi pada
akhirnya Nabi Musa tidak mampu memenuhi syarat yang diberikan oleh nabi Khidir.[10]
3.
Rasa
ingin tahu yang negatif
Rasa ingin tahu yang negatif dapat menimbulkan kekerasan bahkan
dapat membuat secara fisik ataupun emosional terluka. Aristoteles menyatakan
bahwa kita bahkan “menikmati memikirkan imej-imej yang paling tepat yang dengan
membayangkannya adalah sangat membuat kita menderita[11]
Rasa ingin tahu negatif seringkali menimbulkan kerugian pada diri
manusia itu sendiri, padahal percikan rasa ingin tahu negatif seharusnya dapat
dihindarkan dengan pengalihan pikiran dan pengacuhan timbulnya rasa ingin tahu
tersebut. Pada saat rasa ingin tahu negatif telah terpuaskan (yaitu dengan
“mengetahui” apa yang ingin diketahui tersebut), efek samping lainnya lalu
muncul, yaitu keresahan. Pikiran-pikiran negatif yang tak kunjung usai yang
bermula dari rasa ingin tahu berubah menjadi sebuh rantai yang bila tidak cepat
diputus akan menimbulkan terkurasnya energi yang sangat besar. Contoh kasus
rasa ingin tahu lainnya, yaitu ketika adanya pelarangan akan sesuatu, dimana
rasa ingin tahu manusia akan semakin besar.
Rasa ingin tahu yang negatif ini banyak sekali tersebar di kalangan
manusia di dunia. Misal dalam hal ini adalah:
-
Rasa
ingin tahu tentang aib orang lain. Bahkan Allah ta’ala sudah melarang hal ini.
Dalam firmanNya yang Suci al Hujurot 12 :
يأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ
إِثْمٌ وَلاَ تَجَسَّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ
أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُواْ اللَّهَ إِنَّ
اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang
beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka
itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan
janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah
kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.
Padahal Baginda yang
mulia sholallahu ‘alayh wasallam telah mengingatkan:
وَعَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ
عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ ( أَخْرَجَهُ
اَلْبَزَّارُ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ
Dari Anas
Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Berbahagialah orang yang tersibukkan dengan aibnya sehingga ia tidak
memperhatikan aib orang lain.” Riwayat Al-Bazzar dengan sanad hasan[12]
ﻻَ ﺗَﻐْﺘَﺎﺑُﻮﺍ
ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ، ﻭَﻻَ ﺗَﺘَّﺒِﻌُﻮْﺍ ﻋَﻮﺭَﺍﺗِﻬِﻢْ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻣَﻦْ ﺗَﺘَّﺒِﻊُ
ﻋَﻮﺭَﺍﺕِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴْﻦَ، ﺗَﺘَّﺒُﻊُ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻋَﻮﺭَﺗِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺗَﺘَّﺒِﻊُ ﺍﻟﻠّﻪُ
ﻋَﻮﺭَﺗِﻪِ ﻓَﻴَﻔﻀﺤﻪ ﻭﻟﻮ ﻓﻲ ﺟﻮﻑ ﺭﺣﻠﻪ
"
Janganlah kalian mengghibahi orang islam, dan jangan pula mencari-cari
cacat/kekurangan mereka. Karena barang siapa mencari-cari kesalahan orang
islam, maka Allah akan mencari kesalahannya. Dan barang siapa yang Allah cari
kesalahannya, maka Allah akan permalukan dia walau dia sedang berada di
tengah-tengah tempat tinggalnya. (HR At Tirmizy dan lainnya)
-
Rasa
ingin tahu/berfikir tentang Dzat Allah.
Diriwayatkan
dari Anas bin Malik RA., ia berkata: Rasulullah SAW., bersabda: Allah SWT.,
berfirman: Sesungguhnya hamba-Ku akan terus menerus bertanya apa ini,apa itu?
Hingga mereka bertanya, ‘Allah telah menciptakan ini dan itu lalu siapakah yang
menciptakan Allah?’ (HR. Muslim)
Rasulullah
SAW., juga bersabda: “Berfikirlah tantang nikmat-nikmat Allah, dan jangan
berfikir tantang Dzat Allah. (Hasan, Syaikh Al-Abani)
Rasa ingin tahu yang seperti ini
seharusnya kita hindari. Menurut pikiran sederhana saya, ada beberapa cara yang
dapat secara efektif diterapkan untuk dapat mengalihkannya:
Pertama, dengan
mempengaruhi balik pikiran kita dengan kata-kata bahwa rasa ingin tahu kita
tersebut bukanlah hal penting, seperti “untuk apa? apa manfaatnya setelah saya
tahu? apakah akan menjadi lebih baik setelah saya tahu? apa diri saya merasa
hebat setelah mengetahui semuanya? apa hanya untuk kepuasan?”
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan memberikan ruang bagi rasa
ingin tahu tersebut untuk dipertimbangkan kembali. Bila berhasil menjawab
pertanyaan tersebut dan menyadari apa yang ingin diketahui kita bukanlah hal
penting, maka kita berhasil menyelamatkan diri kita dengan tidak
menginvestasikan waktu untuk hal yang non manfaat bagi hidup kita.
Kedua, mengalihkan dan melupakannya dan memberi
perhatian pada hal lain yang lebih penting. Membaca buku atau informasi baru,
membaca blog-blog dan tulisan orang lain yang menginspirasi kita, menbuat kita
teralihkan dan mempunyai hal baru yang lebih membuat kita “ingin tahu”, dengan
hal ini rasa ingin tahu negatif akan mengalami transisi menjadi rasa ingin tahu
positif.
Ketiga, dengan berkomunikasi. Komunikasi dengan orang
lain sangat efektif untuk menghilangkan berbagai pikiran negatif ataupun rasa
ingin tahu negatif. Terkadang, dengan berkomunikasi kita akan segera menyadari
betapa tidak pentingnya apa yang kita pikirkan. Dengan mengalami kognisi dari
apa yang orang lain bicarakan, dan adanya dialog, menjadikan kita memikirkan
hal lain yang kita anggap lebih menarik, dan pada akhirnya rasa ingin tahu
negatif akan terkikis dengan sendirinya.
B.
WAWASAN AL-QUR’AN DAN HADITS TENTANG MENGHARGAI PRESTASI
1.
Pengertian menghargai prestasi
Secara etimologi, prestasi berarti, hasil yang dicapai
melebihi ketentuan[13]
Menghargai
adalah menghormati keberadaan, harkat, dan martabat orang lain.Menghargai prestasi
orang lain artinya menghormati hasil usaha, ciptaan, dan pemikiran orang lain.
Kita wajib menghargai dan menghormati hasil karya orang lain, karena dengan
sikap seperti itu kehidupan akan berjalan dengan tenteram dan damai karena
setiap orang akan menyadari pentingnya sikap saling menghormati dan menghargai
tersebut.
Ayat tentang
menghargai prestasi:
Q.S.
An-Nahl: 97
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ
ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”.
Tafsir Q.S. An-Nahl:97
Dalam
menafsirkan surat An-Nahl ayat 97 ini, Quraish Shihab menjelaskan dalam kitabnya
Tafsir Al-Misbah sebagai berikut :“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh,
apapun jenis kelaminnya, baik laki-laki maupun perempuan, sedang dia adalah
mukmin yakni amal yang dilakukannya lahir atas dorongan keimanan yang shahih,
maka sesungguhnya pasti akan kami berikan kepadanya masing-masing kehidupan
yang baik di dunia ini dan sesungguhnya akan kami berikan balasan kepada mereka
semua di dunia dan di akherat dengan pahala yang lebih
baik dan berlipat ganda dari apa yang telah
mereka kerjakan“.[14]
2.
Cara Menghargai prestasi
Menghargai hasil karya/pretasi orang lain
dapat dilakukan dengan bermacam-macam. Adapun bentuk-bentuk menghargai prestasi
orang lain adalah sebagai berikut:
-
Melalui Ucapan
Dalam hal ini berarti berkata
dengan baik, tidak meremehkan hasil orang lain dengan kata-kata yang kasar
maupun sindiran. Sebagai umat Islam, Rasulul;ah selalu mengajarkan umatnya agar
berkata yang baik atau diam.
-
Melalui Perbuatan
Yakni dengan menggunakan hasil karya
orang lain tersebut untuk diambil manfaatnya, bukan bermaksud untuk merusaknya,
karena pebuatan merusak itu sangat dilarang dalam Agama.
QS. AL-Qasas ayat 77
ابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ
وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا
وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah
pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu [kebahagiaan] negeri akhirat,
dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari [keni’matan] duniawi dan berbuat
baiklah [kepada orang lain] sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di [muka] bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
-
Memberikan penghargaan atas hasil
karya orang lain.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ وَلا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ شِقَّ فِرْسِنِ شَاةٍ
Artinya: Dari
Abu Hurairah Rasulullah bersabda: Saling memberi hadiahlah kamu, karena hadiah
itu dapat menghilangkan perasaan tidak enak di hati. Janganlah seseorang merasa
tidak enak ketika memberi hadiah dengan sesuatu yang tidak berharga. (H.R.
al-Bukhari, Muslim dan al-Turmuzi, kitab wala’ no.2056)
-
Memberikan dorongan
agar orang tersebut lebih semangat dalam berkarya.
3.
Manfaat menghargai prestasi
-
Akan terjalin hubungan yang harmonis
dan tenteram dalam masyarakat, bangsa, dan negara.
-
Memberikan penghargaan pada orang
lain berarti kita telah berperilaku terpuji.
-
Dengan memberikan penghargaan pada
orang lain berati kita telah memberikan manfaat kepada orang lain.
-
Menjauhkan diri dari sikap menghina,
mencela, dan mengejek hasil karya orang lain.
-
Membuat orang lain senang dan
gembira karena hasil karyanya dihargai.
-
Menghargai hasil karya orang lain
merupakan salah satu upaya membina keserasian dan kerukunan hidup antar manusia
agar terwujud kehidupan masyarakat yang saling menghormati dan menghargai
sesuai dengan harkat dan derajat seseorang sebagai manusia. Menumbuhkan sikap
menghargai hasil karya orang lain merupakan sikap yang terpuji karena hasil
karya tersebut merupakan pencerminan pribadi penciptanya.
-
Kita tidak dapat mengingkari bahwa
keberhasilan seseorang tidak dicapai dengan mudah dan santai tapi dengan
perjuangan yang gigih, ulet, rajin dan tekun serta dengan resiko yang
menyertainya. Oleh karena itu, kita patut memberikan penghargaan atas jerih
payah tersebut. Isyarat mengenai keharusan seseorang bersungguh-sungguh dalam
berkarya dijelaskan dalam Al Qur’an sebagai berikut. Yang artinya :
“…Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari satu urusan),
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh kerjaan yang lain.” (QS Al Insyirah : 5-7).
-
Cara yang bisa diwujudkan untuk
menghargai hasil karya orang lain adalah dengan tidak mencela hasil karya orang
tersebut meskipun hasil karya itu menurut kita jelek. Menghargai hasil karya
orang lain merupakan sikap yang luhur dan mulia yang menggambarkan keadilan seseorang
karena mampu menghargai hasil karya yang merupakan saksi hidup dan bagian dari
diri orang lain tanpa melihat kedudukan, derajat, martabat, status, warna kulit
dan pekerjaan orang tersebut.
-
Tidak merusak, meniru, dan
memalsukan karya orang lain tanpa izin dari pemiliknya.
-
Menghindarkan perasaan hasad dan dengki
atas prestasi atau hasil karya orang lain. Namun ada dua hal yang dibolehkan,
sebagaimana diriwayatkan:
Dari ‘Abdullah
bin Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لاَ حَسَدَ إِلاَّ فِى اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ
آتَاهُ اللَّهُ مَالاً فَسُلِّطَ عَلَى هَلَكَتِهِ فِى الْحَقِّ ، وَرَجُلٌ آتَاهُ
اللَّهُ الْحِكْمَةَ ، فَهْوَ يَقْضِى بِهَا وَيُعَلِّمُهَا
“Tidak
boleh hasad kecuali pada dua orang, yaitu orang yang Allah anugerahkan padanya
harta lalu ia infakkan pada jalan kebaikan dan orang yang Allah beri karunia
ilmu (Al Qur’an dan As Sunnah), ia menunaikan dan mengajarkannya.”[15]
-
Meneladani prestasi yang telah
dicapai.
4.
Bahaya tidak menghargai karya orang
lain adalah:
-
Membahayakan keimanan
Tidak menghargai prestasi orang lain dapat membawa
pada sikap iri hati, dengki, hingga suuzan pada orang lain.
-
Membahayakan akhlak
Seseorang yang terbelit oleh perasaan tamak dan tidak
peduli lagi dengan hasil karya orang lain akan melakukan tindak pelanggaran dan
kejahatan, seperti pembajakan hak cipta, pembunuhan karakter, dan beragam
kejahatan lainnya.
-
Membahayakan masyarakat
Beberapa orang yang tidak bermoral tertarik untuk
menjiplak hasil karya tertentu, mencetaknya, dan menjualnya. Sehingga
masyarakat tidak tahu, apakah ini asli atau ciplakan.
Islam sangat menganjurkan umatnya agar berlomba-lomba menghasilkan karya
yang bermanfaat.
Rasulullah
saw. bersabda,
“Sebaik-baik
manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Hadis ini mestinya memotivasi kita, umat Islam, untuk bekerja keras dan
beretos kerja tinggi untuk berkarya sesuai dengan bidang dan kemampuan kita
masing-masing untuk kejayaan dan kemaslahatan umat (Islam). Dalam hal ini, perlu
dikembangkan sikap dan perilaku menghargai karya orang lain. Hal ini akan
memberikan dampak positif yang besar bagi lahirnya karya-karya yang bermanfaat
bagi umat (Islam).
Seseorang yang merasa karyanya dihargai, maka akan semakin termotivasi
untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi. Tetapi sebaliknya, seseorang
yang merasa karyanya tidak dihargai, kemungkinan ia bisa putus asa untuk
berkarya lagi. Ia akan merasa tidak percaya diri untuk berkarya, apalagi jika
karya yang tidak dihargai itu adalah karya perdananya. Respon posotif atau
negatif dari orang lain terhadap hasil karyanya akan memberikan dampak yang
besar bagi diri dan kreatifitasnya.
Karena itu, perlu kiranya kita merenungi firman Allah swt. berikut ini:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki memperolok-olok
kumpulan yang lain, boleh jadi yang diperolok-olok itu lebih baik dari mereka
(yang memperolok-olok). Dan jangan pula sekumpulan perempuan memperolok-olok
kumpulan lainnya, boleh jadi yang diperolok-olok itu lebih baik dari mereka
(yang memperolok-olok)….”. (QS Al Hujurat: 11)
Yang dimaksud dengan larangan mengejek atau memperolok-olok orang lain pada
ayat di atas, termasuk juga larangan mengejek hasil karya dari orang lain. Hal
ini berarti secara tidak langsung, kita diperintahkan untuk menghargai karya
orang lain selama karya tersebut positif.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Manusia selalu merasa dirinya serba kekurangan, baik dalam ekonomi,
ilmu, mapun prestasi/karya. Manusia
memiliki hasrat yang sangat besar untuk mengetahui sesuatu. Ilmu pengetahuan
akan selalu berkembang dikarenakan rasa ingin tahu yang dikaruniakan Allah
kepada manusia. Namun dalam syari’at Islam ada hal yang diperbolehkan untuk
mencari tahu dan ada juga hal yang dilarang untuk mengetahunya.
Seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang kuat, maka orang tersebut akan
meraih prestasi dalam kehidupannya, dikarenakan ilmu yang ia dapatkan. Didalam
Islam diperintahkan untuk menghargai prestasi seseorang, dan dilarang
untukmengejek dan iri terhadap prestasi orang lain.
B.
SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, dan bernilai ibadah
bagi penulis/penyusunnya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa manusia tidak terlepas dari khilaf dan
salah, dan saya juga menyadari bahwa banyak kekurangan dalam menyusun makalah
yang sederhana ini karena keterbatasan ilmu dan materi yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran sangat saya harapkan agar kami bisa lebih baik
dalam menyusun makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama RI. (2008) Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro
Imam Muhammad, (2010), Ringkasan Shahih Bukhari,
Pustaka Adil: Surabaya,
Abu Jaafar As-Siddiq, (2002), Rahasia Tingkatan Nafsu,
Jakarta: Darul Iman.
Bukhari Umar, (2011), Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Amzah,
cet. 2
Sirajuddin Abbas, (2008), 40 Masalah Agama, Jakarta: Pustaka
Tarbiyah Baru, cet. 6,
Q. Shaleeh, (2009), Asbabun Nuzul, CV. Penerbit Diponegoro:
Bandung, cet. 10.
Fahmi Idrus, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya:
Greisinda Press.
Didik Suhardi, (2014), Nilai Karakter Refleksi Untuk Pendidikan,
PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Ismail Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4, (Sinar Baru
Algesindo: Bandung, T.Th)
Murdodiningrat, Kisah Teladan 25 Nabi Dan Rasul Dalam Al-Quran.
(2012) Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M, (2001)
Surabaya: Terbit Terang.
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah (Lentera Hati: Jakarta,
2002, V.5)
[1] Abu Jaafar As-Siddiq, Rahasia Tingkatan
Nafsu, (Jakarta: Darul Iman, 2002), hlm. 1
[2] Bukhari Umar, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, cet. 2, 2011), hlm. 1
[3] Sirajuddin
Abbas, 40 Masalah Agama, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah Baru, cet. 6, 2008),
hlm. 295
[4] Ismail Ibnu
Katsir, Tafsir Ibnu Katsir Juz 4, (Sinar Baru Algesindo: Bandung, T.Th),
hlm 365
[5] Q. Shaleeh, Asbabun
Nuzul, (CV. Penerbit Diponegoro: Bandung, cet. 10, 2009), hlm. 124
[6] Imam Muhammad, Ringkasan Shahih Bukhari (Pustaka
Adil: Surabaya, 2010), hlm. 488
[7] Hadits
shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913).
Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa
Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id
al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali radhiyallaahu ‘anhum
[9] .Murdodiningrat, Kisah Teladan 25 Nabi Dan
Rasul Dalam Al-Quran. (Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2012), hlm. 76
[10] Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan
Tahapan 7 M, (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 149
[11] Didik Suhardi, Nilai Karakter Refleksi
Untuk Pendidikan (PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta,2014), hlm. 87
[12] Hadits Marfu’ riwayat Thabrani (Al-Mu’jam
Al-Kabir, Juz 5, hlm. 71) riwayat Baihaqi (Syu’bul Imam, Juz 7, hlm.
355), Al-Qodhai (Musnad Asy-Syihab, juz 1 , hlm.71)
[13] Fahmi Idrus, Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia (Surabaya: Greisinda Press), hlm. 499
[14] http://nhrbloggers.blogspot.co.id/2012/10/qsan-nahl-ayat-97.html (diunggah 09
Oktober 2017), blog ini mengutip dari:
M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah (Lentera Hati: Jakarta, 2002,
V.5). 134
[15] Imam Muhammad, Ringkasan Shahih
Bukhari, (Pustaka Adil: Surabaya, 2010), hlm. 52
No comments:
Post a Comment