MAKALAH
WAWASAN ISLAM
Tentang:
TASAWUF
Oleh:
Angga Hardianto
Dosen
Pembimbing:
Dr. Ahmad
Zuhdi, MA
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Setiap manusia pasti ingin hidup yang mulia, namun kebanyakan manusia tidak
mengerti tentang hakikat kemuliaan itu. Ada yang mencari kebahagian didunia
saja tapi melupakan kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan terletak pada jiwa yang
bersih.
Islam telah memerintahkan umat manusia untuk selalu membersihkan jiwa.
Firman Allah:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ
زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَنْ
دَسَّاهَا.
Artinya:
Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Q.S. Asy-Syams: 9-10).
Berbagai cara dalam penyucian jiwa yang dilakukan manusia dan umat
Islam pada khususnya, Salah satu cara yang dilalukan adalah dengan menempuh
jalan para sufi, yang erat disebut dengan ahli tasawuf.
Konsep-konsep dalam dunia tasawuf mulai nampak sejak
abad ke-3 dan ke-4 H. Ini diawali dengan semakin banyaknya orang yang
mempraktikkan jalan sufi yang di dalamnya mereka mendapat pengalaman
keagamaan yang beraneka ragam.
Pengalaman keagamaan itu berbeda antara para sufi, sehingga mereka menciptakan
pemikiran-pemikiran masing-masing.
1.2.Rumusan Masalah
1. Pengertian Tasawuf
2. Esensi Tasawuf
3. Tujuan Tasawuf
4. Tokoh-tokoh Tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Secara etimologi
pengertian tasawuf
terdiri dari beberapa macam pengertian sebagai berikut:
Pertama, kalimat tasawuf masuk
dalam “babut-tafaul” dengan wazan Tasawwufa, Tasawwufan. Contoh penggunaan:
“Tasawwufar-rajulu” yakni laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa
kepada kehidupan yang suci.[1]
Kedua, ada yang mengatakan
tasawuf itu berasal dari kata “shafa” (صفاء). Yang berarti bersih/suci.[2] Maksudnya
adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan.
Ketiga, ada yang mengatakan
bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf” (صف), yang berarti barisan[3]. Makna “shaf”
ini dinisbahkan kepada orang yang ketika sholat selalu berjamaah.
Keempat, disebutkan dalam buku
“Akhlak Tasawuf (A. Mustofa), bahwa lafal tasawuf merupakan mashdar dari fi’il
: تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ
menjadi : تَصَوُّفًا
Kata تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ
merupakan فٍعْلُ مَزِيْدُ بِحَرْفَيْنِ
(kata kerja tambahan dua huruf). Yang sebenarnya berasal dari فٍعْلُ مُجَرَّدُ ثُلَاثِيّ
(Kata kerja asli tiga huruf), yang berbunyi : صَافَ – يَصُوْفُ
menjadi صَوْفًا
(mashdar); artinya memakai bulu (domba) yang banyak.
Perubahan dari kata: صَافَ – يَصُوْفُ – صَوْفًا
menjadi kata: تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ – تَصَوُّفًا
yang diistilahkan dalam bahasa Arab; menjadi atau perpindah.
Jadi lafal التَصَوَّف
yang artinya (menjadi) berbulu domba, dengan arti adalah menjadi sufi, yang
ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba. Akan tetapi, pemakaian kata
ini,menjadi perbedaan dikalangan ulama Tasawuf.
Kelima: Ada juga yang mengatakan Tasawuf itu berasal dari
kata “shuf” (صوف) yang berarti bulu domba atau wol kasar. Pemakaian
wol kasar pada saat itu merupakan simbol dari kesederhanaan dan menjadi ciri
khas dari kemiskinan.[4] Sebagai
lawan dari ciri khas ini adalah pemakaian kain sutera halus oleh orang-orang
yang bergaya hidup mewah dikalangan orang-orang pemerintahan. Namun tidak semua
Sufi yang memakai “Shuf, hal tersebut hanya menjadi ciri khas
kesederhanaan. Selain dari itu juga disebutkan bahwa makna Shuf/Bulu
domba, sebab para sufi dihadapan Tuhannya selalu merasa bagaikan selembar bulu
yang tidak mempunyai nilai apa-apa.[5]
Pemahaman yang dapat
diambil dari berbagai arti secara bahasa adalah, bahwa Tasawuf itu merupakan
upaya mengubah kehidupan menjadi lebih bersih/suci, dengan menjalankan perintah
Agama, dan menjalankan kehidupan dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan.
Secara istilah
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya
ialah:
1.
Ruwaim berkata,
“Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki
Allah.
2.
Kattani berkata,
“Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”
3.
Abu Muhammad Al-Jariri
berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang
buruk” [6]
4.
Al-Junaid Al-Bagdadi,
“Tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa ‘alaqah (tanpa perantara).”[7]
5.
Syaikh Abdul Qadir
Jailani berpendapat bahwa: “Tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu
(yang tidak baik) dari pangkalnya dengan khalwat, riyadah dan terus-terus
berzikir dengan dilandasi iman yang benar, taubat, mahabbah dan ikhlas.[8]
6.
Asy-Syekh Muhammad Amin
Al-Kudry mengatakan: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui
hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat yang
buruk dan mengisinya dari sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk, melangkah
menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada
perintah-Nya”.[9]
7.
Prof. Dr. Hamka:
Tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah
menuju kepada Allah.[10]
Demikian pendapat jumhur ulama’ tentang arti
tasawuf. Secara garis besar tasawuf bisa
didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus
berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).
B.
ESENSI TASAWUF
Esensi Tasawuf
sebenarnya telah ada sejak masa kehidupan Rasulullah SAW., namun, Tasawuf belum
dikenal sebagai sebuah ajaran, sebagaimana ilmu keislaman lainnya seperti Fiqh
dan Ilmu Tauhid.[11]
Islam sebagai agama
yang diturunkan pada masyarakat madani (kota), yaitu Mekah dan Medinah dengan
mudah dan cepat telah diserap masyarakat secara logis dan rasional. Pemahaman,
penghayatan dan pengamalan Islam yang benar dan lurus diperagakan Nabi dengan
baik, sehingga dalam waktu singkat nabi berhasil membentuk masyarakat Islam
yang kokoh. Mereka hidup tunduk dan patuh melaksanakan kewajiban keagamaan,
seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Kehidupan yang sederhana dan zuhud
dikembangkan sedemikian rupa, sehingga memunculkan istilah Ihsan. Ihsan adalah:
أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ , فَإِنْ لَّمْ
تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Artinya : Sembahlah
Allãh seakan-akan engkau sungguh melihatnya dan bila tidak melihatnya (memang
engkau tidak bisa melihatnya) maka sadarilah bawa Dia sungguh melihatmu (Hadis
Riwayat Bukhari- Muslim).[12]
Ihsan dimaknai sebagai
suatu kondisi atau keadaan seseorang dalam beribadah dan dalam hidup
kesehariannya seolah-olahnya melihat Tuhan atau paling tidak merasakan bahwa
Tuhan selalu melihat apapun yang sedang dilakukan seorang.
Ihsan adalah
penyembahan kepada Tuhannya dengan penuh kesadaran, merasakan bahwa Tuhan
melihatnya, Tuhan mengawasinya, Tuhan pun tahu setiap sudut kehidupan, hamba
selalu berdiri hadir dihadapan-Nya. Ihsan berarti, bahwa penglihatan Tuhan
terhadap hambanya, secara terus menerus tanpa dibatas ruang dan waktu. Abu Nasr
As-Sarajj menjelaskan; bahwa Islam itu adalah zahir, Iman itu zahir dan batin
sedangkan Ihsan itu adalah hakikat zahir dan batin (hakikat iman).[13]
Selanjutnya
menghasilkan zuhud. Usaha para zahid mengembalikan kehidupan sosial masyarakat
pada kesederhanaan(Qana’ah), dan berusaha mengidentifikasikan diri dengan Allah
melalui perbuatan terpuji dengan menjaga kesucian diri serta melakukan
ibadah-ibadah yang membersihkan hati, menjauhkan diri dari pengaruh buruk.
Muhammad Syibly berpendapat
tentang zuhud, zuhud itu sebenarnya adalah gaflah(lalai) di dunia ini tidak ada
sesuatu apapun jua yang dia punyai. Zuhud pada yang tak bernilai adalah lalai. Orang-orang
yang zuhud(ahli ibadah yang tidak menghiraukan urusan dunia) bila dipuji,
mereka merasa takut karena pujian itu datangkanya dari makhluk. Selalu merasa
khawatir, kalau-kalau sampai terkena aib oleh pujian tersebut.[14]
Zuhud sangat
diperintahakan dalam dalam beribadah. Disebutkan dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Ma’ud RA., sebagai berikut:
رَكْعَتَانِ مِنْ زَاهِدٍ عَلِمٍ خَيْرٌ مِنْ عِبَادَةِ
الْمُتَعَبِّدِيْنَ الْمُجْتَهِدِيْنَ الىٰ اخر الدهر ابَدَا سَرْمَدًا
“Dua raka’at shalat
yang dilakukan oleh orang yang zuhud lagi alim, lebih baik daripada ibadah yang
dikerjakan oleh para ahli ibadah dan para mujtahidin sepanjang masa.”[15]
Dari bermacam-macam
difinisi dan penjelasan tentang zuhud dapat ditarik suatu pengertian bahwa
zuhud itu bukanlah orang yang anti dunia, tetapi orang yang tidak mau dijajah
oleh dirinya dan dunia material.
Buah dari tasawuf
adalah terdidiknya hati sehingga memperoleh ma’rifah terhadap yang ghaib secara
rohani, selamat di dunia dan bahagia di akhirat, dengan mendapat keridoan
Allah, memperoleh kebahagiaan abadi, memperoleh hati yang bersinar dan suci.[16]
Pengembaraan sipritual
seseorang mencari Tuhan (salik) tidak mungkin dilaksanakan, kecuali setelah
melewati proses penyucian hati. Untuk mendapatkan kebersihan hati maka berbagai
langkah yang dilakukan oleh para Sufi, diantaranya: Takhalli, Tahalli,
Tajjali.[17]
C.
TUJUAN TASAWUF
Tasawuf
secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci
mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiran-Nya
senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Tasawuf
pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan
akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu
untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid,
Syekh Zakaria Al-Anshari mendefinisikan.[18]
Kesucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah
merupakan dua faktor yang paling penting dalam ajaran Tasawuf dan menjadi
perhatian utama. Perjalanan spiritual Tasawuf bertitik tolak dari kesucian
qolbu.[19]
Hadits nabi menganai qolbu/hati:
...
إن في
الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدَ كُلّهُ ، وإذَا فَسَدَتْ
فَسَدَ الجَسَدَ كُلُّهٌ ألَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging,
jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusaklah
seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari).[20]
Jadi,
tujuan dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan
petunjuk agama dalam bingkai ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau
kelebihan-kelebihan supranatural.
D.
Ajaran-ajaran Tasawuf
Buya Hamka mengemukakan bahwa: hidup
kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah lama umurnya dn telah ada
pada setiap bangsa. Kadang-kadnag tasawuf menjadi tempat pulang dari
orang-orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi tempat lari dari orang yang
telah tersesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi penguat pribadi bagi orang
yang lemah dan tasawufpun menjadi tempat berpijak yang teguh bagi orang-orang
yang telah kehilangan tempat gerak.[21]
Secara keseluruhan ilmu tasawuf bisa
dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, bagian yang pertama
yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Termasuk di
dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh tasawuf dan tokoh
luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian kedua
ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni ajaran tasawuf
yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya pengamalan dalam
rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran tasawuf ini akan
mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan spiritual, dunia
dan akherat. Sementara ada lagi yang
membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1.
Tasawuf Akhlaqi
Tasawuf yang menitik beratkan pada
pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak
adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan, dilakukan
dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan demikian,
maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi (niat) kuat
dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan direnungkan
sehingga perbuatan itu nampak otomatis. adalah ajaran tasawuf yang membahas
tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengaturan
sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.\
Guna mencapai kebahagiaan yang
optimum manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya
dengan ciri-ciri ketuhanan melalui pensucian jiwa raga, bermula dari
pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak, yang dalam ilmu tasawuf dikenal
sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap tercela). Tahalli (menghias diri
dengan sifat yang terpuji), dan tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang
telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).
2.
Tasawuf Amali
Ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh
qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini
dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya
menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi
yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada
seorang guru (mursyid). Pengikut tariqat
harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan.
Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama
perintisnya, seperti tariqat qadiriyah, naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
3.
Tasawuf Falsafi
Ialah tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu
menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa
dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi
perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas dalam sistematika keilmuan,
bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada pribadi yang satu dan utuh.
Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan takhalli (pembersihan hati dari
sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya dari sifat-sifat
terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli (tersingkapnya hijab/tabir)
antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam (orang pada umumnya)
mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui, menghayati dan
mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash al-Khawash (istimewa
dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan mencapai nur bashirah (mata
hati) kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain kecuali harus melalui
pendidikan dan latihan mental (riyadlah)
yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dan
pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Itulah sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu
bagaikan cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika
tertutup oleh noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini
sejalan dengan firman Allah SWT :
xx. ( 2ö@t/ tb#u 4n?tã NÍkÍ5qè=è% $¨B (#qçR%x. tbqç6Å¡õ3t ÇÊÍÈ
Artinya : Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka. (QS. 83:14)
Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik noda dan senantiasa menjaga
kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah menerima apa-apa yang bersifat
suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari itu, hati jiwa seseorang akan
memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
E.
TOKOH
Menurut Hamka, kehidupan sufistik sebenarnya
lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri. Sebab, ia tumbuh dan
berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui
praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis.
Sesugguhnya
banyak sekali para Ulama’ yang mengikuti jejak Rosulullah SAW, untuk hidup
seadanya dan tidak tamak, tapi kami disini akan membahas siapa saja yang terkenal
sebagai pakar ilmu tasawuf:
1. Al Muhasibi
Nama
lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857 M). Lahir di Basrah. Nama
"Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan
karya mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela
ajaran rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan
beralih kepada dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi.
Sebagai guru Al Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan
moyang dari Al Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li
Huquq Allah", sebuah karya mengenai praktek kehidupan spiritual.
2. Ibn Athaillah As-Sakandary
Nama
lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah As-Sakandary (w. 1350M), dikenal
seorang Sufi sekaligus muhaddits yang menjadi faqih dalam madzhab Maliki serta
tokoh ketiga dalam tarikat Asy-Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan fiqih
membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang
kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya
Al-Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual dikalangan
murid-murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al-Arwah (Kunci
Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab At-Tanwir Fi Ishqat
At-Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir
berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada
lagi kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi
Manaqib Abil Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
Ibn
Athaillah biasa menghadiri majelis Syekh Abu Abbas Al-Marsawi ra. Beliau
sezaman dengan banyak ulama besar yang ahli makrifat, beliau meninggal pada
bulan Jumadil Akhir tahun 709 H.[22]
3.
Abdul
Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah
seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah pendiri tharikat
Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad Irak. Abdul
Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia mendirikan sebuah
tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-sebut sebagai Quthb
(poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai Ghauts Al-Azham
(pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa diragukan karena
janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh kegaiban.
Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al-Ghayb (menyingkap
kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan guru
tharikat (mursyid). [23]
4.
Al
Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur
Al-Hallaj (857-932), seorang Sufi Persia dilahirkan di Thus yang dituduh
Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya
dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di
Al-Tutsari, kemudian berganti guru pada Syeikh Al Makki, kemudian mencoba
bergabung menjadi murid Al-Junaed Al-Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan
ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak, Akulah
Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari
masalah ini Al-Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud",
ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan
Tuhan. Menurut Junaid " Al-Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb"
artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan
tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah
kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai
martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri
karena masih pro dan kontra.[24]
B. Tokoh-tokoh Tasawuf Moderat
1.
Junaid
Al-Baghdadi
Nama
lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad Al-Kazzaz An-Nihawandi.
Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. Dia termasuk tokoh sufi yang
luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa
kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuai
apa yang dianutnya.
Al-Junaid
adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu
membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`. Karena itulah
dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh Al-Ta`ifah); sementara Al-Qusayiri di dalam
kitabnya Ar-Risaalah Al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi.
Asal-usul Al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di
Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, Al-Junaid pernah berguru pada pamannya
Surri As-Saqti serta pada Haris bin `Asad Al-Muhasibi.
Al-Junaid
dikenal dalam sejarah atsawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang
tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam
kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qusyairi:
“orang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan
keesaan-Nya dalam arti sempurna.
Al-Junaid
menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak
ada habis-habisnya.
2.
Al-Qusyairi
An-Naisabury[25]
Dialah
Imam Al-Qusyary An-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah.
Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim
Al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah. Ia
lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.
Al-Qusyairy
juga belajar fiqh pada Abu Bakr Muhammad ibn Abu Bakr At-Thusy (385-460
H/995-1067 M), belajar Ilmu Kalam dari Abu Bakr Muhammad ibn Al-Husain, seorang
ulama ahli Ushul Fiqh. Ia juga belajar Ushuluddin pada Abu Ishaq Ibrahim ibn
Muhammad, ulama ahli Fiqh dan Ushul Fiqh. Al-Qusyairy pun belajar Fiqh pada Abu
Abbas ibn Syuraih, serta mempelajari Fiqh Mazhab Syafi’i pada Abu Mansyur Abdul
Qohir ibn Muhammad Al-Ashfarayain.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya Al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya.
Al-Qusyairy banyak menelaah karya-karya Al-Baqillani, dari sini ia menguasai doktrin Ahlusunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Abu Hasan al-Asy’ary (w.935 M) dan para pengikutnya.
Al-Qusyairy
tidak mengharamkan kesenangan dunia, selama hal itu tidak memalingkan manusia
dari mengingat Allah. Beliau tidak sependapat dengan para sufi yang
mengharamkan sesuatu yang sebenarnya tidak diharamkan agama.
Karya-karya
dari Al-Qusyairy diantaranya ialah; Ahkaamu As-Syariah, kitab yang membahas
masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil
Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi
Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul
Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii
Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan
kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab
At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini
merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410
H/1019 M.
3.
Al-Harawi
Nama
lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad Al-Ansari. Beliau lahir
tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan. Dia adalah seorang faqih dari madzhab
Hambali. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya
di atas doktrin Ahl Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas
gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan
ungkapan-ungkapan yang aneh, seperti Al-Bustami dan al-Hallaj.[26]
C. Tokoh-tokoh Tasawuf Nusantara
1. Syeikh Hamzah Fansuri
Hamzah
Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang oleh orang Arab dinamai Fansur.
Itulah sebabnya kemudian disebut Fansuri.[27]
Kota Fansur tepatnya terletak di Pantai barat Provinsi Sumatra Utara.
Tidak
diketahui dengan pasti tentang tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri,
tetapi masa hidupnya diperkirakan sebelum tahun 1630-an.
Hampir
semua penulis sejarah Islam mencatat behwa Syeikh Hamzah Fansuri dan muridnya
Syeikh Samsudin Sumatrani adalah tokoh sufi yang sepaham dengan Al-Hallaj.
Dalam
bidang Tasawuf, ia mengikuti Tarekat Qodariyah, yang dibawakan oleh Syekh Abdul
Qadir Jailani. [28]
Mengenai
Hamzah Fansuri sebagai penganut Tarekat Qodariyah dapat dipahami dari salah
satu ungkapannya yang berbunyi:
Hamzah Asalnya
Fansuri
Mendapat wujud di
tanah Sharh Nawi
Beroleh
kepercayaan ilmu yang ali
Dari Abd Qodir
Jailani[29]
2.
Syeikh
Yusuf Makasari
Seorang
tokoh sufi yang berasal dari Sulawesi ialah Syeikh Yusuf Makasari. Beliau
dilahirkan pada 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M.
Nama
Yusuf dengan inisial Al-Makassari sesungguhnya menandakan bahwa tokoh ini
berasal dari Makasar.
Naluri
atau fitrah pribadinya sejak kecil telah menampakkan diri cinta akan
pengetahuan keislaman, dalam tempo relatif singkat Al-Qur’an 30 juz telah tamat
dipelajarinya. Setelah lancar benar tentang Al-Qur’an dan mungkin beliau
termasuk seorang penghafal maka dilanjutkannya pula dengan
pengetahuan-pengetahuan lain yang ada hubungannya dengan itu. Dimulainya dengan
ilmu nahwu, ilmu sharaf kemudian meningkat hingga keilmu bayan, ma’ani’, badi’,
balaghah, manthiq, dan sebagainya.
Kitab-kitabnya
antara lain :[30]
Ar-Risalatun Naqsabandiyyah, Fathur Rahman, Zubdatul Asraar, Asraaris Shalaah,
Tuhfatur Rabbaniyyah, Safinatunnajah, Tuhfatul Labiib.
3. Syiekh Abdul Rauf as-Singkili
Nama lengkapnya Abdul Rauf Singkel dalam
ejaan bahasa Arab disebut ’Abd Ar-Rauf bin ’Ali Al-Jawiyy Al-Fansuriyy As-Sinkilyy,
selanjutnya akan disebut Abdurrauf. Ia adalah seorang Melayu dari Fansur, Sinkil
(Singkel) di wilayah pantai barat laut Aceh. Hingga saat ini tiak ada data
pasti mengenai tanggal dan tahun kelahirannya. Akan tetapi menurut beberapa
pendapat ahli, Abdurrauf dilahirkan sekitar tahun 1615 M. Mendasarkan dugaan setelah menghitung mundur
dari saat kembalinya Abdurrauf dari tanah Arab ke Aceh pada 1661 M.[31]
Abdurrahman
wafat pada tahun 1693 M dan dimakamkan disamping makam teuku Anjong yang
dianggap paling keramat di aceh, dekat kuala sungai Aceh. Oleh karena itulah di
Aceh ia dikenal dengan sebutan Teuku di Kuala. Berkat kemasyurannya, nama
Abdurrauf diabadikan menjadi nama sebuah perguruan tinggi di Aceh, yaitu
Univeraitas Syiah Kuala.
4.
Syekh
Nawawi Al-Bantani
Lahir
dengan nama Abu Abdul Mu’ti Muhammad Nawawi bin ‘Umar bin ‘Arabi. Ulama besar
ini hidup dalam tradisi keagamaan yang sangat kuat. Ulama yang lahir di Kampung
Tanara, sebuah desa kecil di kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Provinsi
Banten. Bernasab kepada keturunan Maulana Hasanuddin Putra Sunan Gunung Jati,
Cirebon. Keturunan ke-12 dari Sultan Banten. Nasab beliau melalui jalur ini
sampai kepada Baginda Nabi Muhammad saw. Di usia beliau yang belum lagi
mencapai 15 tahun, Syaikh Nawawi telah mengajar banyak orang.
Pandangan
tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang
ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak
ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan
antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih
mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal,
tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat
diperoleh dengan kapal berlayar di laut.
5.
Hamka
Hamka,
atau nama lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia pada 17 Februari 1908 - 24 Julai
1981) adalah seorang penulis dan ulama terkenal Indonesia. Ayahnya ialah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul.
Beliau melibatkan diri dengan pertubuhan
Muhammadiyah dan menyertai cawangannya dan dilantik menjadi anggota pimpinan
pusat Muhammadiyah.Beliau melancarkan penentangan terhadap khurafat, bid'ah,
thorikoh kebatinan yang menular di Indonesia.
6. Walisongo[32]
Wali
Songo yang sangat berperan dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya Tanah
Jawa, mempunyai andil yang besar dalam mengajarkan tasawuf kepada masyarakat.
Pada abad ke-12 M, peranan ulama tasawuf sangat dominan di dunia Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Manusia selalu berupaya untuk mencari ketenangan dalam kehidupan.
Berbagai cara yang dilakukan menusia untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ajaran
Agama Islam telah memerintahkan manusia untuk selalu mensucikan jiwanya,dan
salah satu ajaran dalam Islam yang bertujuan untuk mensucikan jiwa,disebut
dengan Tasawuf.
Ilmu Tasawuf bertujuan untuk membersihkan jiwa manusia, sedangkan
buah dari tasawuf itu diantaranya: zuhud, ihsan, taqwa sesuai dengan ajaran
agama.
Ilmu tasawuf sebenarnya berkembang sejak permulaan Islam, yaitu
dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., ahli tasawuf atau yang disebut dengan istilah sufi,
tidak akan mencapai tujuan dalam tasawuf selama tidak mengikuti sunnah
nabi.
B.
SARAN
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya, dan bernilai ibadah
bagi penulis/penyusunnya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa manusia tidak terlepas dari khilaf dan
salah, dan saya juga menyadari bahwa banyak kekurangan dalam menyusun makalah
yang sederhana ini karena keterbatasan ilmu dan materi yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran sangat saya harapkan agar kami bisa lebih baik
dalam menyusun makalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (1997) Surabaya :
PT. Bina Ilmu.
Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia (1997) Surabaya:
Pustaka Progressif, cet. 2
Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia (Surabaya:
Pustaka Barokah)
Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001)Surabaya:
Terbit Terang
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (2012)Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
cet. 1
A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (1997)Bandung: Pustaka Setia
Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (2013)Sungai
Penuh: Kerinci Press, cet. 1
Imam Nawawi, Hadits Ar-Ba’in Nawawiyah (2012)Semarang: Pustaka
Nun, cet. 4
Abu Nasr Abd Allah bin Ali al-Sarâj al-Thûsy, Kitâb al-Luma’, (1970)Qairo:
Dar al-Kutub al-Haditsah
Ibnu ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat(Surabaya: Bintang Usaha
Jaya), hlm. 328
M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (2001),
Pustaka Setia: Bandung
M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2011,
cet. 2)
Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf dan Tokoh-tokohnya di
Nusantara, (1930), Al-Ikhlas: Surabaya
Sayyid Husein, Ensiklopedi Tematis Spiirtualitas Islam Manifestasi (2003),
Bandung: Mizan Media Utama
Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf
Singkel di Aceh Abadc 17, Bandung: Mizan, 1999
[1] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf
(Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 30
[2] Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 2, 1997)
hlm. 783
[3] Ahmad Sunarto,
Kamus Indonesia-Arab, Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Barokah), hlm.
14. Penggunaan kata Shaf yang berarti “barisan”, juga bisa dilihat pada Qur’an
Surat Ash-shaf ayat 4
[4] Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan
Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 16
[5] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 9
[6] http://madinagate.org/index.php/id/akidah-filsafat-dan-tasawuf/item/4466-pengertian-tasawuf (Diunggah:
tgl. 03-10-2017, 20:41) Dalam artikel ini mengutip dari: Qa’idah al-Tasawuf,
Abu al-Abbas, Ahmad Muhammad Zaruq, hal. 3
[7] Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 10
[8] Cecep Alba, Op.Cit, hlm. 11
[9] A. Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung:
Pustaka Setia, 1997), hlm.202
[10] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf
(Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 31
[11] Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam
Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1, 2013), hlm. 2
[12] Imam Nawawi, Hadits Ar-Ba’in Nawawiyah (Semarang:
Pustaka Nun, cet. 4, 2012), hlm. 3
[13] Abu Nasr Abd
Allah bin Ali al-Sarâj al-Thûsy, Kitâb al-Luma’, (Qairo: Dar al-Kutub
al-Haditsah, 1970). h.6
[14] Ibnu ‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat(Surabaya:
Bintang Usaha Jaya), hlm. 328
[15] Ibnu ‘Athoillah, Menyelam Ke Samudera
Ma’rifat & Hakekat (SurabaAmelia:
[16] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 12
[17] Menurut Asrifin (2001), langkah yang dilalui oleh ahli tasawuf
diantaranya: Muatabah, Muroqobah, Mujahadah, Mukasyafah, Musyahadah,
Mahabbah dan Makrifah.
[18] Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam
Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1, 2013), hlm. 3
[19] Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan
Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 25
[20] Imam Nawawi, Hadits Abba’in (Semarang:
Pustaka Nuun, 2012), cet. 10, hlm.9
[21] Ahmad Zuhdi, Aspek-aspek
Tasawuf dalam Stud Islam, (Sungai Penuh: Stain Kerinci Press. 2013), h. 34.
[22] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm. 60
[23] Ibid. Hlm. 46
[24] M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf
di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 44
[25] M. Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung:
Pustaka Setia, 2011, cet. 2), hlm. 130
[27] M. Solihin, dalam buku; Sejarah dan
Pemikiran Tasawuf di Indonesia, mengutip dari: Abd. Rahim Yunus, Posisi
Tasawuf Dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton Pada Abad ke-19, (Jakarta:
INIS, 1995), hlm. 57
[28] Hawasy Abdullah, Perkembangan Ilmu Tasawuf
dan Tokoh-tokohnya di Nusantara, (Al-Ikhlas: Surabaya, 1930), hlm. 37
[29] M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf
di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 30
[30] Sayyid Husein, Ensiklopedi Tematis Spiirtualitas Islam Manifestasi
(Bandung: Mizan Media Utama, 2003), hlm. 205
[31] Fathurrahman, Oman. Tanbih al-Masyi Menyoal Wahdatul
Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abadc 17, Bandung: Mizan, 1999
[32] M. Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf
di Indonesia (Pustaka Setia: Bandung, 2001), hlm. 50