Wednesday, February 14, 2018

KONSEP DASAR DAN TEORI DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER



MAKALAH

DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER


Tentang:

KONSEP DASAR DAN TEORI  DESAIN
PENDIDIKAN KARAKTER






Oleh:
Angga Hardianto
Febri Husandra
Helma Noveria
Oktariani Saputri


Dosen Pembimbing:
Dr. Hadi Candra, S.Ag., M.Pd



FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018 



KONSEP DASAR DAN TEORI DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Desain atau perencanaan merupakan sesuatu hal yang begitu penting bagi seseorang yang akan melaksanakan tugas atau pekerjaannya, termasuk guru yang memiliki tugas/pekerjaan mengajar (mengelola pengajaran). Supaya seorang guru dapat menyusun perencanaan pengajaran dengan baik, maka harus memperhatikan prinsip-prinsip pengajaran dan memahami strategi pengajaran.
Pendidik dituntut untuk menyediakan kondisi belajar untuk peserta didik untuk mencapai kemampuan-kemampuan tertentu yang harus dipelajari oleh subyek didik. Dalam hal ini peranan desain dalam kegiatan belajar mengajar sangat penting, karena menunjuk pada proses memanipulasi, atau merencanakan suatu pola atau signal dan lambang yang dapat digunakan untuk menyediakan kondisi dalam pendidikan.

B.     Rumusan Masalah
1.      Hakikat desain pendidikan karakter
2.      Model-model dan pendekatan pengembangan desain pendidikan karakter
3.      Desain pendidikan karakter pada konteks makro dan mikro.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    HAKIKAT DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER
Desain adalah sebuah istilah yang diambil dari kata design yang berarti perencanaan atau rancangan. Ada pula yang mengartikan dengan “Persiapan”. Di dalam ilmu manajemen pendidikan atau ilmu administrasi pendidikan, perencanaan disebut dengan istilah planning yaitu “Persiapan  menyusun suatu keputusan berupa langkah-langkah penyelesaian suatu masalah atau pelaksanaan suatu pekerjaan yang terarah pada pencapaian tujuan tertentu”.[1] Herbert Simon (Dick dan Carey, 2006), mengartikan desain sebagai proses pemecahan masalah. Tujuan sebuah desain adalah untuk mencapai solusi terbaik dalam memecahkan masalah dengan memanfaatkan sejumlah informasi yang tersedia.
Dengan demikian, suatu desain muncul karena kebutuhan manusia untuk memecahkan suatu persoalan. Melalui suatu desain orang bisa melakukan langkah-langkah  yang sistematis untuk memecahkan suatu persoalan yang dihadapi. Dengan demikian suatu desain pada dasarnya adalah suatu proses yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan rancangan untuk merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut diujicobakan dan akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk menentukan hasil tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun. [2]
Sedangkan karakter secara etimologis, kata karakter (Inggris: Character) berasal dari bahasa Yunani, eharassaen yang berarti “to engrave” (Ryan and Bohlin, 1999:5). Kata “to engrave” itu sendiri dapat diterjemahkan menjadi mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan (Echols dan Shadily, 1995:214). Arti ini sama dengan istilah “karakter” dalam bahasa Inggris (character) yang juga berarti mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan.[3]
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat
Desain Pendidikan Karakter
Pengembangan karakter dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan, dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan:
a.       Filosofis: Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU N0.20 Tahun 2003 tentang sisdiknas,
b.      Teoretis: teori pendidikan, psikologis, pendidikan, nilai dan moral, serta sosial-budaya,
c.       Empiris: berupa pengalaman dan praktik terbaik, antara lain tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kelompok kultural, dll.
Lingkungan satuan pendidikan perlu dikondisikan agar lingkungan fisik dan sosial-kultural satuan pendidikan memungkinkan para peserta didik bersama dengan warga satuan pendidikan lainnya terbiasa membangun kegiatan keseharian di satuan pendidikan yang mencerminkan perwujudan karakter yang dituju. Pola ini ditempuh dengan melakukan pembiasaan dengan pembudayaan aspek-aspek karakter dalam kehidupan keseharian di sekolah dengan pendidik sebagai teladan.
Di lingkungan keluarga dan masyarakat diupayakan agar terjadi proses penguatan dari orang tua/wali serta tokoh-tokoh masyarakat terhadap perilaku berkarakter mulia yang dikembangkan di satuan pendidikan sehingga menjadi kegiatan keseharian di rumah dan di lingkungan masyarakat masing-masing.  Hal ini dapat dilakukan lewat komite sekolah, pertemuan wali murid, kunjungan/kegiatan wali murid yang bertujuan menyamakan langkah dalam membangun karakter di sekolah, di rumah, dan di masyarakat.
Pada tahap evaluasi hasil, dilakukan perbaikan berkelanjutan yang dirancang dan dilaksanakan untuk mendeteksi aktualisasi karakter dalam diri peserta didik sebagai indikator bahwa proses pembudayaan dan pemberdayaan karakter itu berhasil dengan baik, menghasilkan sikap yang kuat, dan pikiran yang argumentatif.
Dengan pendidikan karakter tersebut, yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

1.      Desain Pendidikan Budaya Sekolah
Budaya sekolah memiliki cakupan yang sangat luas, pada umumnya mencakup kegiatan ritual, harapan, hubungan sosial-kultural, aspek demografi, kegiatan kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler, proses pengambilan keputusan, kebijakan maupun interaksi sosial antar komponen di sekolah. Budaya sekolah adalah suasana kehidupan sekolah dimana peserta didik berinteraksi dengan sesamanya, guru dengan guru, konselor dengan peserta didik, antar tenaga kependidikan, antara tenaga kependidikan dengan pendidik dan ppeserta didik, , dan antar anggota kelompok masyarakat dengan warga sekolah sekolah.  Interaksi internal kelompok dan antar kelompok terikat oleh berbagai aturan, norma, moral serta etika bersama yang berlaku di suatu sekolah. Kepemimpinan, keteladanan, keramahan, toleransi, kerja keras, disiplin, kepedulian sosial, kepedulian lingkungan, rasa kebangsaan,  dan tanggungjawab merupakan nilai-nilai yang dikembangkan dalam budaya sekolah.
Adapun langkah dalam mengaplikasikan pendidikan karakter di sekolah adalah menciptkan suasana atau iklim sekolah yang cocok yang akan membantu transformasi guru-guru dan siswa, juga staf-staf sekolah. Hal ini termasuk di dalamnya adalah objetive atau tujuan yang tepat untuk sekolah, misi sekolah, kepemimpinan sekolah, kebijakan dan  visi pihak manajemen moral para staf dan guru, serta partisipasi orang tua dan siswa. Sesunngguhnya, semua langkah dalam model pembelajaran nilai-nilai karakter ini akan berkontribusi terhadap budaya sekolah.
Sebagai salah satu contoh kecil tentang kebersihan lingkungan sekolah, baik di kamar mandi/WC, di ruang kelas, di lorong-lorong maupun di luar gedung sekolah/taman sekolah. Hal itu hanya dapat dilakukan di sekolah dengan dukungan manajemen sekolah yang mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kebersihan lingkungan. Kondisi sekolah seperti itu dilaksanakan melalui program sekolah bersama antara manajemen sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa. Di setiap sudut ruang, terdapat tempat sampah yang dapat digunakan untuk menyimpan sampah kering dan basah serta sampah yang dapat di daur ulang. Siswa dikondisikan untuk membuang sampah ke tempat yang sesuai dengan jenis sampah dan melalui pembiasaan seperti itu diharapkan kepedulian siswa menjadi lebih tinggi terhadap kebersihan lingkungan.
Perencanaan dan pelaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa dilakukan oleh kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan (konselor) secara bersama-sama sebagai suatu komunitas pendidik diterapkan ke dalam kurikulum melalui kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a.       Kegiatan rutin sekolah
Kegiatan rutin merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan konsisten setiap saat. Contoh kegiatan ini adalah: upacara pada hari besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan (kuku, telinga, rambut dan lain-lain) setiap hari Senin, beribadah bersama/sembahyang bersama setiap dluhur (bagi yang beragama Islam), berdoa waktu mulai dan selesai pelajaran, mengucap salam bila bertemu guru/tenaga kependidikan yang lain dan sebagainya.

b.      Kegiatan spontan
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilakukan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini dilakukan biasanya pada saat guru dan tenaga kependidikan yang lain mengetahui adanya perbuatan yang kurang baik dari peserta didik yang harus dikoreksi pada saat itu juga. Apabila guru mengetahui adanya perilaku dan sikap yang kurang baik maka pada saat itu juga guru harus melakukan koreksi sehingga peserta didik tidak akan melakukan tindakan yang tidak baik tersebut. Contoh kegiatan tersebut adalah: membuang sampah tidak pada tempatnya, berteriak-teriak sehingga mengganggu pihak lain, berkelahi, melakukan bullying, berlaku tidak sopan, mencuri, berpakaian tidak senonoh dan sebagainya.
Kegiatan spontan berlaku untuk perilaku dan sikap peserta didik yang tidak baik dan yang baik sehingga perlu dipuji, misalnya: memperoleh nilai tinggi, menolong orang lain, memperoleh prestasi dalam olahraga atau kesenian, berani menentang/mengkoreksi perilaku teman yang tidak terpuji dan sebagainya.
c.       Teladan
Keteladanan adalah perilaku dan sikap guru dan tenaga kependidikan yang lain dalam memberikan contoh terhadap tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik untuk mencontohnya. Jika guru dan tenaga kependidikan yang lain menghendaki agar peserta didik berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa maka guru dan tenaga kependidikan yang lain adalah orang yang pertama dan utama memberikan contoh bagaimana berperilaku dan bersikap sesuai dengan nilai-nilai terebut. Misalnya berpakaian rapi, datang tepat pada waktunya, bekerja keras, bertutur kata sopan, kasih sayang, perhatian terhadap peserta didik, jujur, menjaga kebersihan dan sebagainya.
d.      Pengkondisian
Untuk mendukung keterlaksanaan pendidikan budaya dan karakter bangsa maka sekolah harus dikondisikan sebagai pendukung kegiatan tersebut. Sekolah harus mencerminkan kehidupan sekolah yang mencerminkan nilai-nilai dalam budaya dan karakter bangsa yang diinginkan. Misalnya toilet yang selalu bersih, bak sampah ada di berbagai tempat dan selalu dibersihkan, sekolah terlihat rapi dan alat belajar ditempatkan teratur.
e.         Menyesuaikan dalam semua Mata Pelajaran
Praktik pendidikan karakter di sekolah bukan hanya menjadi tanggungjawab mata pelajaran Agama atau Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Selama ini ada kesan  mata pelajaran yang lain hanya mengajarkan pengetahuan sesuai dengan bidangnya ilmu, teknologi atau seni. Padahal seharusnya proses pembelajaran nilai-nilai karakter idealnya diintegrasikan di dalam setiap mata pelajaran atau mengintegrasikan nilai-nilai karakter ke dalam antar mata pelajaran.
Persoalannya kini adalah bagaimana hubungan antara pedidikan karakter dengan mata pelajaran?   Keduanya tetap diperlukan dan harus saling melengkapi.  Dalam pengembangan pendidikan karakter, seharusnya mata pelajaran dipahami sebagai pesan dan alat yaitu sebagai wahana pembudayaan dan pemberdayaan individu..  Misalnya Guru Fisika harus sadar bahwa pembahasan materi Fisika diarahkan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam memahami fenomena alam dari sudut pandang teori Fisika, menggali berbagai sumber informasi dan menganalisisnya untuk menyempurnakan pemahaman tersebut, mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain, dan memahami bahwa fenomena seperti itu tidak lepas dari ”peran” Sang Pencipta. Pengembangan pendidikan karakter seperti itu, dapat dilakukan melalui metoda pembelajaran yang dipilih guru. Misalnya, untuk mengembangkan kecakapan berkomunikasi, guru dapat memilih metoda diskusi atau siswa diminta presentasi. Untuk mengembangkan kecakapan bekerja sama, disiplin, kerja kelompok dalam praktikum dapat diterapkan. Yang penting adalah bahwa aspek-aspek tersebut sengaja didesain dan dinilai hasilnya sebagai bentuk hasil belajar pendidikan karakter.
Ada banyak cara mengintergrasikan nilai-nilai karakter ke dalam mata pelajaran, antara lain: Mengungkapkan nilai-nilai yang ada dalam mata pelajaran, pengintegrasian langsung di mana nilai-nilai kakater menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran, menggunakan perumpamaan dan membuat perbandingan dengan kejadian-kejadian serupa dalam kehidupan para siswa, mengubah hal-hal negatif menjadi nilai positif, mengungkapakan nilai-nilai melalui diskusi, Menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai, menceritakan kisah hidup orang-orang besar, menggunakkann drama untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai, menggunakan berbagai kegiatan seperti kegiatan pelayanan, dan membuat kelompok kegiatan untuk memunculkan nilai-nilai kemanusiaan.
f.         Integrasi nilai dalam kegiatan ko-kurikuler dan ekstrakurikuler.
Kegiatanko-kurikuler dan ekstrakurikuler akan semakin bermakna jika diisi dengan berbagai kegiatan bermuatan nilai yang menarik dan bermanfaat bagi siswa. Kecenderungan saat ini adalah munculnya gejala keengganan siswa untuk terlibat dalam kegiatan kesiswaan. Masih banyak siswa yang hanya belajar saja, tanpa menghiraukan kegiatan ko-kurikuler apalagi kegiatan ekstra kurikuler. Alasannya malas, mengganggu konsentrasi belajar, hanya membuang waktu, atau tidak bermanfaat. Tidak sedikit juga kegiatan siswa yang tidak mendukung peningkatan kepribadian diri.  Misalnya kegiatannya bagus yaitu seminar ilmiah, namun siswa banyak yang berkerumun di luar ruangan karena menjadi panitia logistik, penerima tamu. Akhirnya siswa yang berorganisasi menjadi panitia tidak mendapatkan pembelajaran dari seminar tersebut. Padahal pekerjaan teknis sebenarnya dapat disederhanakan.   Hal ini terpulang kembali pada ada tidaknya pendampingan oleh guru yang membimbing kegiatan kesiswaan. Jadi kegiatan yang bagaimana yang akan mengembangkan Pedidikan Karakter?. Kegiatan yang terencana, terprogram dan tersistem. Setiap kegiatan harus ada pelatih atau mentornya yang membimbing kemana arah kegiatan tersebut akan dilaksanakan, walau tidak harus setiap saat ada.
g.      Pembiasaan perilaku bermuatan nilai
Dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, sekolah harus menerapkan totalitas pendidikan dengan mengandalkan keteladanan, penciptaan lingkungan dan pembiasaan melalui berbagai tugas dan kegiatan. Sehingga seluruh apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan dikerjakan oleh siswa adalah pendidikan. Lingkungan pendidikan itulah yang ikut mendidik. Penciptaan lingkungan disekolah dapat dilakukan melalui : 1) penugasan, 2) pembiasaan, 3) pelatihan, 4) pengajaran, 5) pengarahan, serta 6) keteladanan.Semuanya mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam pembentukan karakter anak didik. Pemberian tugas tersebut disertai pemahaman akan dasar-dasar filosofisnya, sehingga anak didik akan mengerjakan berbagai macam tugas dengan kesadaran dan keterpanggilan. Setiap kegiatan mengandung unsur-unsur pendidikan, sebagai contoh dalam kegiatan kepramukaan, terdapat pendidikan kesederhanaan, kemandirian, kesetiakawanan dan kebersamaan, kecintaan pada lingkungan dan kepemimpinan. Dalam kegiatan olahraga terdapat pendidikan kesehatan jasmani, penanaman sportivitas, kerja sama dan kegigihan untuk berusaha. Pengaturan kegiatan di sekolah ditangani oleh organisasi pelajar yang terbagi dalam banyak bagian, seperti Ketua, Sekretaris, Bendahara, Keamanan, Pengajaran, Penerangan, Koperasi Pelajar, Koperasi Dapur, Kantin Pelajar, Bersih Lingkunan, Pertamanan, Kesenian, Ketrampilan, Olahraga, Penggerak Bahasa.
Selain dari itu, kehidupan sehari-hari di rumah dan di masyarakat perlu juga mendapat perhatian dalam rangka desain pendidikan karakter. Banyak manfaat yang bisa diperoleh oleh sekolah dari masyarakat dan sebaliknya yang bisa diperoleh oleh masarakat dari hadirnya sekolah itu. Antara sekolah dan masarakat harus mengadakan banyak interaksi. Beberapa komponen masyarakat yang bisa terlibat dalam proses belajar di sekolah yaitu: orangtua, masyarakat. Peran Orang tua. Agar model pembelajaran nilai-nilai karakter bisa berhasil dengan baik, kita membutuhkan orang tua yang benar-benar menjadi partner yang berkomitmen tinggi terhadap proses belajar anak-anak mereka. Orangtua adalah guru di rumah, karenanya mereka harus menganut visi yang sama dengan sekolah demikian pula dengan tujuan sekolah. Orangtua mesti setuju dengan tujuan sekolah untuk menghasilkan anak-anak yang baik yang memeiliki nilai-nilai kemanusiaan.
Ketika siswa berada di rumah, orang tua mesti meluangkan waktu bertemu bersama anak-anak mereka dan memberikan cinta kasih dan kehangatan. Orang tua dan guru mesti mengadakan pertemuan untuk mendisuksikan masalah-masalah yang dihadapi siswa dan mesti membuat terencana untuk membantu memecahkan masalah-masalah itu. Para orangtua harus berpartisipasi dalam berbagai kegiatan di sekolah dan membagikan pengetahuan dan pengalaman mereka kepada para siswa dan guru.
Komunitas atau masyarakat sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan karakter anak. Sekolah harus dipandang sebagai suatu sistem hidup yang terus menerus tumbuh dan berkembang. Sekolah juga sedang dalam proses belajar karena selalu ada interaksi antara setiap orang di sekolah dan komunitas. Guru dan siswa selalu berhubungan dengan orangtua dan kerabat mereka di masyarakat. Berbagai kegiatan yang dilakukan orang tua dapat memainkan peranan penting dalam pengembangan sekolah. Setiap orang di sekolah termasuk semua staf sangat dipengaruhi oleh temapt-tempat ibadah, komunitas pasar, perkantoran dll sebagainya. Sebagai bagian dari pembelajaran, siswa harus blajar melayani komunitas atau masyarakat dalam pegembangannya. Mereka mesti turut serta dalam kegiatan pelayanan yang diadakan di tempat-tempat ibadah. Sekolah mesti membantu komunitas untuk mengembangkan dan membantu pendidikan orang-orang dalam komunias. Ketika komunitas tersebut menjadi sebuat komunitas belajar, sekolah akan mendapatkan manfaat besar dari komunitas seperti ini.

B.     MODEL-MODEL DAN PENDEKATAN PENGEMBANGAN DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER

===> TAMBAHAN DARI DOSEN (CARI MODEL ADDIE)
A.    Model Otonom
Model otonomi yang memposisikan pendidikan karakter sebagai mata sebuah pelajaran tersendiri menghendaki adanya rumusan yang jelas seputar standar isi, kompetensi dasar, silabus, rencana pembelajaran, bahan ajar, metodologi dan evaluasi pembelajaran. Jadwal pelajaran dan alokasi waktu merupakan konsekuensi lain dari model ini. Sebagai sebuah mata pelajaran tersendiri pendidikan karakter akan lebih terstruktur dan terukur. Guru mempunyai otoritas yang luas dalam perencanaan dan membuat variasi program karena ada alokasi waktu yang dikhususkan untuk itu.
Namun demikian model ini dengan pendekatan formal dan struktural kurikulum dikhawatirkan lebih banyak menyentuh aspek kognitif siswa,tidak sampai pada aspek afektif dan perilaku. Model seperti ini biasanya mengasumsikan tanggung jawab pembentukan karakter hanya ada pada guru bidang studi sehingga keterlibatan guru lain sangat kecil. Pada akhirnya pendidikan karakter akal gagal karena hanya mengisi intelektual siswa tentang konsep-konsep kebaikan, sementara emosional dan spiritualnya tidak terisi.
B.     Model Integrasi
Ada pun model ke dua yang mengintegrasikan pendidikan karakter dengan seluruh mata pelajaran ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pengajar karakter. Semua mata pelajaran diasumsikan memiliki misi moral dalam membentuk karakter positif siswa. Dengan model ini maka pendidikan karakter menjadi tanggung jawab kolektif seluruh komponen sekolah. Model ini dipandang lebih efektif dibandingkan dengan model pertama, namun memerlukan kesiapan, wawasan moral dan keteladanan dari seluruh guru. Satu hal yang lebih sulit dari pada pembelajaran karakter itu sendiri.  Pada sisi lain model ini juga menuntut kratifitas dan keberanian para guru dalam menyusun dan mengembangkan silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
C.     Model Suplemen
Model ketiga yang menawarkan pelaksanaan pendidikan karakter melalui sebuah kegiatan di luar jam sekolah dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama melalui suatu kegiatan ekstrakurikuler yang dikelola oleh pihak sekolah dengan seorang penanggung jawab. Kedua, melalui kemitraan dengan lembaga lain yang memiliki kapabilitas dalam pembinaan karakter.
Model ini memiliki kelebihan berupa pengalaman kongkret yang dialami para siswa dalam pembentukan karakter. Ranah afektif dan perilaku siswa akan banyak tersentuh melalui berbagai kegiatan yang dirancang. Keterlibatan siswa dalam menggali nilai-nilai kehidupan melalui kegiatan tersebut akan membuat pendidikan karakter memuaskan dan menyenangkan. Pada tahap ini sekolah menjalin kemitraan dengan keluarga dan masyarakat sekitar sekolah. Masyarakat dimaksud adalah keluarga, siswa, organisasi, tetangga, dan kelompok atau individu yang berpengaruh terhadap kesuksesan siswa di sekolah.
D.    Model Kolaborasi
Model terakhir berupa kolaborasi dari semua model merupakan upaya untuk mengoptimalkan kelebihan setiap model dan menutupi kekurangan masing-masing pada sisi lain. Dengan kata lain model ini merupakan sintesis dari model-model terdahulu. Pada model ini selain diposisikan sebagai mata pelajaran secara otonom, pendidikan karakter dipahami sebagai tanggung jawab sekolah bukan guru mata pelajaran semata. Karena merupakan tanggung jawab sekolah maka setiap aktifitas sekolah memiliki misi pembentukan karakter. Setiap mata pelajaran harus berkontribusi dalam pembentukan karakter dan penciptaan pola pikir moral yang progresif. Sekolah dipahami sebagai sebuah miniatur masyarakat sehingga semua komponen sekolah dan semua kegiatannya merupakan media-media pendidikan karakter. Berbagai kegiatan diselenggarakan untuk membawa siswa ke dalam pengalaman nyata penerapan karakter, baik sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang terprogram maupun kegiatan insidentil sesuai dengan fenomena yang berkembangan di masyarakat.

C.    DESAIN PENDIDIKAN KARAKTER PADA KONTEKS MAKRO DAN MIKRO
Implementasi pendidikan karakter di Indonesia hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh yang meliputi konteks makro dan mikro. Konteks makro dalam hal ini bersifat nasional yang meliputi konsep perencanaan dan implementasi yang melibatkan seluruh komponen dan pemangku kepentingan secara nasional yang diawali dengan sebuah kesadaran, bukan kepentingan sesaat.
Menurut Dasim Budiansyah (2010:56) secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan dan evaluasi hasil. Pada tahap perencanaan dikembangkan perangkat karakter yang digali, dikristalisasikan dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai sumber, antara lain pertimbangan: (1) Filosofis Agama, Pancasila, UUD 1945, dan UU No. 20 Tahun 2003 beserta ketentuan perundang-undangan turunannya; (2) Pertimbangan teoritis-teori tentang otak (brain theories), psikologis, pendidikan, nilai dan moral serta sosio-kultural (3) pertimbangan empiris berupa pengalaman dan praktik terbaik dari antara tokoh-tokoh, satuan pendidikan unggulan, pesantren, kelompok kultural dan lain-lain.
Pada tahap implementasi dikembangkan pengalaman belajar dan proses pembelajaran yang bermuara pada pembentukan karakter dalam diri individu peserta didik. Proses ini dilaksanakan melalui proses pembudayaan dan pemberdayaan sebagaimana digariskan sebagai salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalamkonteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional. Keterlibatan aktif dari sektor-sektor pemerintahan lainnya, khususnya sektor keagamaan, kesejahteraan, pemerintahan, komunikasi dan informasi, kesehatan, hukum dan hak azasi manusia, serta pemuda.
Sedangkan pendidikan karakter dalam konteks mikro berlangsung dalam suatu satuan pendidikan secara menyeluruh. Dan secara mikro pendidikan karakter dalam konteks mikro dibagi dikelompokkan menjadi empat pilar, yaitu kegiatan belajar mengajar dikelas, kegiatan keseharian dalam bentuk budaya satuan pendidikan,kegiatan kurikuler serta ekstra kurikuler dan kegiatan keseharian dirumah dan didalam masyarakat. Dalam implementasi kegiatan belajar mengajar dikelas,pengembangan dan kegiatan pembentukan karakter dapat ditempuh melalui dua cara. Pertama, menggunakan pendekatan integrasi dalam semua mata pelajaran. Kedua, pendidikan karakter menjadi mata pelajaran tersendiri dimana terpisah dari mata pelajaran lain. Hal ini memang cukup berat untuk dilakukan mengingat sudah terlalu banyak muatan mata pelajaran yang dibebankan kepada siswa. Walaupun dibeberapa negara lain pendidikan karakter menjadi mata pelajaran yang terpisah dari mata pelajaran lainnya.[4]


BAB III
KESIMPULAN
            Desain dapat diartikan sebagai sebuah perencanaan. Suatu desain pada dasarnya adalah suatu proses yang diawali dari penentuan kebutuhan, kemudian mengembangkan rancangan untuk merespons kebutuhan tersebut, selanjutnya rancangan tersebut diujicobakan dan akhirnya dilakukan proses evaluasi untuk menentukan hasil tentang efektivitas rancangan (desain) yang disusun.
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Model-model dan pendekatan pengembangan desain pendidikan karakter: (1) Model Otonom; (2) Model Integrasi; (3) Model Suplemen (4) Model Kolaborasi.
Secara makro pengembangan karakter dapat dibagi dalam tiga tahap, yakni perencanaan, pelaksanaan dan dan evaluasi hasil. 
Dalamkonteks makro kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia pelaksanaan pendidikan karakter merupakan komitmen seluruh sektor  kehidupan, bukan hanya sektor pendidikan nasional.
Sedangkan pendidikan karakter dalam konteks mikro berlangsung dalam suatu satuan pendidikan secara menyeluruh.


DAFTA PUSTAKA
Ahmad Rohani, (2004) Pengelolaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta.
Wina Sanjaya, (2008) Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran , Jakarta : Kencana Prenada  Media Group.
Suyadi, (2013) Strategi Pembelajaran Karakter, Bandung: Remaja Rosda Karya.
Abdul Majid, (2012) Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya.



[1] Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran, (Jakarta : Rineka Cipta, 2004), hal : 67
[2] Wina Sanjaya, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran , (Jakarta : Kencana Prenada  Media Group, 2008) hlm 64-65
[3] Suyadi, Strategi Pembelajaran Karakter (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2013), hlm. 5
[4]  Abdul Majid, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2012), hlm. 38-40
 

No comments:

Post a Comment