A.
LATAR
BELAKANG
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil
‘alamin. Untuk itu, maka diutuslah Rasulullah SAW untuk memperbaiki manusia
melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang
tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan
inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah
SWT. Dengan pendidikan yang baik, tentu akhlak manusia pun juga akan lebih
baik. Tapi kenyataan dalam hidup ini, banyak orang yang menggunakan akal dan
kepintaraannya untuk maksiat. Banyak orang yang pintar dan berpendidikan justru
akhlaknya lebih buruk dibanding dengan orang yang tak pernah sekolah. Hal itu
terjadi karena ketidakseimbangannya ilmu dunia dan akhirat. Ilmu pengetahuan
dunia rasanya kurang kalau belum dilengkapi dengan ilmu agama atau akhirat.
Orang yang berpengetahuan luas tapi tidak tersentuh ilmu agama sama sekali,
maka dia akan sangat mudah terkena bujuk rayu syaitan untuk merusak bumi,
bahkan merusak sesama manusia dengan berbagai tindak kejahatan. Disinilah
alasan mengapa ilmu agama sangat penting dan hendaknya diajarkan sejak kecil.
Kalau bisa, ilmu agama ini lebih dulu diajarkan kepada anak sebelum anak
tersebut menerima ilmu dunia. Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi
masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia membutuhkan terapi agar menjadi
makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT.
B.
WAWASAN
AL-HADITS TENTANG ILMU
Pentingnya belajar dan
menuntut ilmu sudah sangat jelas diterangkan diberbagai dalil menuntut ilmu
baik ayat suci Al-Quran maupun Hadist Nabi SAW. Allah SWT sendiri telah
berfirman dalam Al-Quran surat Al-Mujadalah sebagai berikut
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا
مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ...
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
Selain ayat tersebut, masih
banyak sekali dalil hadits menuntut ilmu dimana didalamnya dijelaskan berbagai
persoalan mengenai apa saja keutamaan menuntut ilmu, kewajiban menuntut ilmu
dalam Islam (bahwa menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim), keutamaan mencari
ilmu dan lain sebagainya. Dibawah ini akan dibahas mengenai Hadits keutamaan
menuntut ilmu dan peran nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ilmu
1.
Hadits-hadits tentang
keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu
a.
Ilmu
merupakan salah satu kunci kesuksesan dunia dan akhirat
مَنْ أَرَادَ
الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ
بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ"
Barangsiapa yang menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu ; dan barangsiapa
yang ingin (selamat dan berbahagia) di akhirat, maka harus dengan ilmu; dan
barangsiapa yang menginginkan kedua-duanya, maka harus dengan ilmu". (HR.
Bukhari dan Muslim).
Walaupun ada yang berpendapat
bahwa Hadits ini dha’if,[1] namun
setidaknya hadits ini bisa dijadikan motivasi kita untuk menuntut ilmu.
Didalam hadits diatas disebutkan
bahwa keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat salah satunya haruslah
memilki ilmu.
Ilmu pengetahuan sangat penting
bagi kehidupan di dunia. Ilmu pengetahuan merupakan kunci untuk meraih
kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain itu, segala sesuatu yang akan
dikerjakan harus menggunakan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan seseorang
tidak dapat melakukan sesuatu. Rasulullah saw. telah menjelaskan bahwa setiap
muslim wajib menuntut ilmu pengetahuan. Kewajiban tersebut berlaku sejak
seseorang masih dalam kandungan hingga masuk ke liang lahat.
b. Ilmu merupakan hal yang penting didalam Islam, sehingga memerintahkan
umatnya untuk menuntut ilmu mulai dari buaian hingga keliang lahat:
اُطْلُبُوا
العِلْمَ مِنَ المَهْدِ إِلى اللَّحْدِ
Ketika seorang bayi
masih berada dalam kandungan tentu saja ia tidak dapat menuntut ilmu sendiri.
Ia menuntut ilmu bersama ibu yang mengandungnya. Ketika seorang wanita hamil
menghadiri majelis ilmu, berarti anak yang dikandungnya juga turut menuntut
ilmu. Kewajiban menuntut ilmu ini berlaku hingga bayi tersebut berkembang
menjadi anak-anak, remaja, dewasa, hingga ia menemui ajal dan dimasukkan ke
liang lahat.
Ilmu
yang harus dituntut tidak terbatas pada ilmu agama. Ilmu agama sangat penting
untuk dipelajari demikian halnya ilmu dalam bidang lain juga penting.
Rasulullah saw. memerintahkan umat Islam agar menuntut ilmu sampai ke negeri
Cina. Kita ketahui bersama bahwa Cina menawarkan ilmu pengetahuan dalam bidang
pedagangan. Dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu yang harus dituntut bukan hanya
ilmu pengetahuan agama, tetapi juga ilmu pengetahuan yang dapat mendatangkan
manfaat bagi kehidupan.
Kewajiban
menuntut ilmu selanjutnya dipertegas oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:
...طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
... Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim (H.R. Ibnu Majah).[2]
Hadits ini menegaskan bahwa setiap muslim wajib memiliki ilmu,
sebab ibadah tanpa ilmu tidak akan ada artinya. Bahkan dalam hadits yang lain
dipertegas lagi bahwa menuntut ilmu itu sangat diperintahkan walaupun sampai ke
negeri Cina:
اطْلُبُوْا
الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ
Carilah ilmu sekalipun di negeri Cina.
Terlepas dari kedudukan hadits ini (shahih atau dha’if), ada beberapa hal
yang dapat diambil pelajaran. Pertama: Menunjukkan bahwa Cina memilki
peradaban ilmu yang juga memiliki kemajuan. Kedua: anjuran untuk
menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh[3].
c.
Ilmu yang kita miliki apabila
diwariskan kepada orang lain, maka ilmu itu akan memberi manfaat kepada kita
walaupun sudah meninggal dunia:
Disebutkan dalam Hadits
ke-741 Kitab Bulughul Marom:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : ( إِذَا مَاتَ اَلْإِنْسَانُ
اِنْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ
عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالَحٍ يَدْعُو لَهُ ) رَوَاهُ
مُسْلِم ٌ
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada orang meninggal
dunia terputuslah amalnya kecuali dari tiga hal, yaitu: Sedekah jariyah (yang
mengalir), atau ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendoakan
untuknya." Riwayat Muslim.
Hadits diatas menjelaskan salah satu dari keutamaan Ilmu, yaitu bisa
dibawa sampai kita meninggal dunia.
d. Orang
yang berilmu akan dimudahkan jalan kesyurga
مْن سَلَكَ
طَرْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ
اْلجَنَّةِ (رواه مسلم
“Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan
memudahkan baginya jalan ke surga” (HR Muslim)
Hadits ini menjelaskan betapa mulianya orang yang mencari ilmu, sehingga
akan dimudahkan baginya jalan kesyurga, sudah tentu orang yang berilmu juga
akan lebih dimudahkan jalannya kesyurga.
e.
Ahli Ilmu Adalah Pewaris Para Nabi
Yang
dimaksud adalah Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Penyebutan para Nabi untuk menegaskan keutamaan Nabi Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam di mana apa yang beliau bawa mencakup seluruh
ajaran para Nabi. Yang diwariskan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bukanlah dinar dan dirham tetapi ilmu berupa cahaya Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dari Abu Darda Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Rasulullah
Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
... إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، إِنَّ الأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا العِلْمَ، فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
... Para ahli ilmu
adalah perawis para Nabi. Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham tetapi
mewariskan ilmu. Siapa yang mengambilnya berarti telah mengambil keuntungan
yang besar.”[4]
f. Ahli Ilmu Dikecualikan dari Laknat
Diriwayatkan dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
الدُّنْيَا مَلْعُونَةٌ، مَلْعُونٌ مَا فِيهَا، إِلَّا ذِكْرَ اللَّهِ، وَمَا وَالَاهُ، أَوْ عَالِمًا، أَوْ مُتَعَلِّمًا
“Dunia terlaknat dan
terlaknat pula apa yang ada di dalamnya kecuali dzikir kepada Allah dan
ketaatan kepada-Nya, atau orang alim, atau pelajar.”[5]
g. Lebih utama dari ahli ibadah
Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أَدْنَاكُمْ
“Keutamaan ahli ilmu
atas ahli ibadah seperti keutamanku atas orang paling rendah dari kalian.”[6]
2. Peran
nabi Muhammad dalam menyebarkan ilmu
Bayangkan bagaimana kita
berpeluang mendapat kurniaan hidayah dan menikmati keilmuan Islam. Sudah
tentulah melalui dakwah dan pendidikan yang sampai kepada kita melalui
lapisan-lapisan pendakwah/guru sejak bermula dari Nabi Muhammad s.a.w.
melalui sahabat-sahabat baginda seterusnya turun ke bawah lapisan-demi lapisan
hingga kepada kita yang kini sudah memanjang masa hingga saat ini.
Rasulullah SAW telah mencapai puncak keilmuan.
Sebagai utusan Allah, Beliau mengetahui hukum Al-Quran sampai sedetail-detailnya
kemudian menyampaikan serta menjelaskannya kepada manusia. Oleh karena itu,
Rasulullah SAW merupakan teladan sekaligus sumber rujukan utama dan pertama
bagi segenap kaum Muslimin, baik yang hidup sezaman dengannya maupun
generasi-generasi kemudian.
Dalam sebuah hadis riwayat at-Thabrani, Nabi
Muhammad SAW mengimbau segenap kaum Muslim, "Jadilah engkau orang yang
berilmu atau orang yang belajar, atau orang yang mau mendengarkan ilmu, atau
orang yang mencintai ilmu. Dan janganlah engkau menjadi orang yang kelima, maka
kamu akan binasa".
Sebagai sumber ilmu-ilmu agama Islam,
Rasulullah SAW menumbuhkan dan mengembangkan sunnah sebagai referensi bagi
kehidupan umat manusia hingga akhir zaman. Rasulullah SAW mendidik umatnya
melalui sunnah agar mereka selamat di dunia dan akhirat.
Sebagai pendidik, Nabi Muhammad SAW menerapkan
sejumlah prinsip yang dapat ditiru oleh orang-orang saat ini. Pertama,
kemudahan akses. Rasulullah SAW hidup berbaur dengan umatnya, baik di Makkah,
Madinah, atau di daerah manapun yang sempat disinggahi Beliau. Dalam memberikan
pengajaran, Rasulullah SAW tidak menempatkan hijab antara diri beliau dan para
sahabat.
Nabi SAW juga tidak pernah menghalangi
seseorang dari menjumpai Beliau hanya lantaran status sosialnya. Malahan,
Rasulullah SAW memilih tempat-tempat yang strategis sebagai lokasi majelis
ilmu.
Kedua, keanekaan peran. Kadangkala, Rasulullah
SAW tidak cukup hanya berperan sebagai pendidik. Seringpula, beliau menjalankan
fungsi selaku hakim, pemberi saran, atau pemimpin yang memberikan instruksi.
Ini semua bergantung pada konteks keadaan dan persoalan yang sampai kepadanya.
Ketiga, yakni efektivitas. Rasulullah SAW selalu
peka terhadap kapasitas lawan bicaranya. Beliau berbicara dengan memerhatikan
kadar kemampuan akal mereka. Sebab, tiap orang memiliki tingkat pengetahuan dan
konteks yang berbeda-beda. Dengan memerhatikan hal itu, penyampaian ilmu atau
pesan-pesan tidak akan menimbulkan kesalahpahaman.
Jadi, kalau berbicara
masalah peran nabi Muhammad SAW dalam pengembangan ilmu pengetahuan, ini
berarti berbicara masalah peran Islam dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Hanya saja disini membahas fungsi pribadi Rasulullah SAW.
Rasulullah
sebagai guru dan pendidik
Sebuah ajaran, prinsip dan nasehat tidak akan bisa dibuktikan kebenaran dan
kekuatannya selama ia belum pernah diaplikasikan. Aplikasi dan keteladanan yang
nyata dari tokoh pembawa ajaran akan menjadi bukti paling kuat dan tak
terbantahkan bahwa sebuah ajaran layak dianut karena ia telah membuktikan
dirinya sebagai ajaran yang benar dan realistis.
Islam memiliki tokoh serta
teladan dimana seluruh sisi kehidupannya dapat dijadikan contoh oleh para
pengikutnya, sehingga ajarannya tidak bersifat khayalan, melainkan terwujud
dalam tataran realitas. Dan itu semua nampak dalam pribadi Nabi Muhammad Saw.
Maka fungsi utama
diutusnya Rasulullah Saw adalah untuk menjadi bukti hidup dan contoh nyata dari
seluruh ajaran dan syariat Allah SWT yang diturunkan melalui wahyu-Nya.
Rasulullah Saw telah memperagakan semua ajaran yang diterimanya dari Allah SWT,
hal ini menjadi bukti bahwa Syariat Islam bisa diaplikasikan dalam kehidupan
sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengikuti Islam dengan dalih
ajarannya dinilai berat dan di luar batas kemampuan manusia.
Rasulullah Saw adalah
tokoh yang memiliki banyak peran. Ia adalah seorang pemimpin umat, komandan
perang, referensi bagi umat dan hakim dalam menyelesaikan berbagai masalah. Tapi
dari sekian banyak peran beliau, peran paling utama dan esensial adalah peran
sebagai seorang pendidik atau guru.
Bukti hal ini bisa dilihat pada firman Allah Swt berikut
ini:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي
الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ
Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara
mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan
mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka
sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata (Qs. Al-Jumuah [62]: 2)
Ada tiga peran utama Rasulullah Saw yang tertera dalam di atas:
a. Membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka
b. Mensucikan mereka
c. Mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah).
Ketiga peran itu
tersimpul dalam satu kata “Mendidik”
Menurut
Syekh Moh. Abduh sebagaimana dikutip oleh Moh. Quraish Shihab, memahami ayat
tersebut sebagai bentuk kekuasaan. Kebijaksanaan dan ke-Esaan-Nya. Kemudian (membacakan
ayat-ayat tersebut) dalam arti menjelaskannya dan mengarahkan jiwa manusia
untuk meraih manfaat, pelajaran darinya. Sedangkan makna (mensucikan mereka)
adalahmembersihkan jiwa mereka dari keyakinan-keyakinan yang sesat, kekotoran
akhlak dan lain-lainyang merajalela pada masa jahiliyah, sedangkan (mengajar
kitab) dipahami oleh Moh. Abduh sebagai mengajar tulis menulis dengan pena,
karena sesungguhnya agama islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw ini telah
mengharuskan mereka belajar tulisan dengan penadan membebaskan mereka dari buta
huruf, karena agama tersebut mendorong (bangkitnya) peradaban, serta pengaturan
urusan umat. Adapun (hikmah), maknanya menurut Abduh adalah rahasia
persoalan-persoalan (agama), pengetahuan hukum, penjelasan tentang kemaslahatan
serta pengamalan..[7]
Senada dengan ayat
diatas, Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 164
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ
رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي
ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh
Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah
mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum
(kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
Ini
adalah karuania yang paling besar, dimana Rasul yang diutus kepada mereka itu adalah
dari jenis mereka sendiri sehingga dengan demikian mereka akan dapat
berkomunikasi dan menjadikannya tempat rujukan dalam memahami
firman-firman-Nya.[8]
Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW. diutus oleh Allah
SWT. kepada umatnya untuk menanamkan ilmu sekaligus mensucikan jiwa mereka.
Mensucikan berarti membersihkan dari sifat-sifat buruk yang merupakan kebiasaan
sebagian besar masyarakat Makkah pada masa itu, seperti syirik, dengki, takabur
serta prilaku buruk lainnya seperti ,mabuk-mabukan, merampas hak orang lain dan
lain-lain. Nabi Muhammad SAW. membongkar pola pikir masyarakat penyembah
berhala hingga mereka menyadari akan kewajiban-kewajibannya menyembah Allah SWT.
sebagai pencipta, pengatur, pemelihara umat manusia. Pensucian jiwa dan
penyadaran sikap bertauhid dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. dengan pengajaran
dan pendidikan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat pada
waktu itu.
Bahkan ayat yang pertama turun kepada Nabi
Muhamad Saw yaitu ayat 1-5 Surat Al-‘Alaq. Ayat ini menegaskan bahwa Islam
dibangun di atas pondasi Ilmu dan pengetahuan. Dan menjadi tujuan diutusnya
Nabi adalah menunjukkan manusia kepada kebenaran dan mengeluarkan mereka dari
kegelapan jahiliyah kepada cahaya ilmu dan pengetahuan.
Maka tidak heran jika Nabi Muhammad Saw
mengutamakan ilmu dan menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم
أنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْنِي مُعَنِّتًا وَلَا مُتَعَنِّتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي
مُعَلِّمًا مُيَسِّرًا
Rasulullah Saw bersabda: “Allah tidak mengutusku sebagai orang yang kaku
dan keras akan tetapi mengutusku sebagai seorang pendidik dan mempermudah”.[9]
Rasulullah Saw
bahkan menjadikan ilmu dan belajar sebagai hak dalam bertetangga, maka seorang
tetangga wajib menghilangkan buta huruf dari tetangga yang lain.
Dari Abu Musa
Al-Asyari bahwa Nabi Saw bersabda: “Bagaiamankah keadaan suatu kaum yang
tidak mengajarkan tetangga mereka, tidak menasihati mereka, tidak beramar
makruf dan nahi mungkar kepada mereka. Dan bagaimanakah keadaan suatu kaum yang
tidak belajar dari tetangga mereka, dan tidak meminta nasehat kepada mereka?
Demi Allah, Suatu kaum hendaknya mengajarkan tetangga mereka, memberikan
nasehat dan beramar makruf dan nahi mungkar kepada mereka dan hendaknya suatu
kaum belajar dari tetangga mereka dan meminta nasehat mereka. Jika tidak maka
akan disegerakan hukuman di dunia”. (HR. Ath-Thabrani)
Rasulullah Saw
juga mengajarkan agar seorang guru mendidik dengan dengan cara yang lemah
lembut, luwes dan tidak keras. Sebagaimana sabda Nabi Saw berikut:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا بَعَثَ أَحَدًا مِنْ
أَصْحَابِهِ فِي بَعْضِ أَمْرِهِ قَالَ بَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا وَيَسِّرُوا
وَلَا تُعَسِّرُوا
Dari Abu Musa berkata: Jika Rasulullah Saw mengutus seseorang dari para
Sahabatnya dalam suatu perkara, beliau bersabda: “Berikanlah berita gembira
dan jangan membuat orang lari, permudahlah orang lain jangan engkau persulit”.
(HR. Bukhari)[10]
[2] Ahmad Jamin, Filsafat
Ilmu, (Bandung: Alfabeta. 2016), hlm.68
[3] Rihlah (melakukan perjalanan jauh) untuk menuntut ilmu adalah kebiasaan para
ulama salaf terdahulu dari kalangan sahabat, tabi’in dan orang-orang setelah
mereka, bahkan tak sedikit diantara mereka yang menempuh perjalanan
berbulan-bulan hanya untuk mencari satu hadits. Cukuplah sebagai contoh,
perjalanan Nabi Musa untuk menemui Nabi Hidhir dalam rangka menuntut ilmu yang
disebutkan oleh Allah dalam surat Al-Kahfi.
[4] HR.
At-Tirmidzi no. 2682, Abu Dawud no. 3641, dan Ibnu Majah no. 223. Dishahihkan
Syaikh Al-Albani
[5] HR. Ibnu Majah
no. 4112 dan dihasankan Syaikh Al-Albani, bisa juga diakses: https://thaybah.id/2016/02/21-dalil-shahih-tentang-keutamaan-ilmu-dan-ahli-ilmu-1/
[6] HR.
At-Tirmidzi no. 2685 dan dishahihkan Syaikh Al-Albani
[7] M. Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) Vol. 14, hlm.
220
[8] Abdullah bin Muhammad, Tafsir ibnu Katsir
(Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003), cet. 2, jilid 2, hlm. 181
[10] Imam Muhammad,
Shahih Al-Bukhari, (Surabaya: Pustaka Adil, 2010), hlm. 51