MAKALAH
WAWASAN ISLAM
Tentang:
TASAWUF
Oleh:
Angga Hardianto
Dosen
Pembimbing:
Dr. Ahmad
Zuhdi, MA
FAKULTAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
KERINCI
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu ajaran yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Tuhan,
adalah tasawuf. Sebagai salah satu disiplin keagamaan, tasawuf merupakan bidang
yang oleh sementara kalangan dianggap sebagai disiplin yang ada pada wilayah
yang berbeda dengan ilmu pengetahuan pada umumnya. Tasawuf atau sufisme
sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, mempunyai tujuan
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa seseorang berada dikhadirat Tuhan. Disisi lain di dunia pendidikan untuk
yang sekarang menurut kebanyakan orang sangatlah penting dan yang lebih penting
yang tertera dalam Hadist Nabi SAW bahwa setiap muslim wajib akan mencari ilmu.
Dari sini maka akan timbul pertanyaan apa yang dimaksud tasawuf itu sendiri?
Dan bagaimana dengan dunia pendidikan, yang dominannya semua orang berada dalam
lingkup ruangan tersebut? Apa ada pengaruhnya bagi dunia pendidikan?
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
pengertian tasawuf ?
2.
Apa
dasar-dasar tasawuf ?
3.
Apa
tujuan tasawuf ?
4.
Bagaimana
tasawuf menurut para ahli ?
5.
Bagaimana
ajaran tasawuf ?
6.
Apa
pengertian pendidikan karakter ?
7.
Apa
pilar-pilar pendidikan karakter ?
8.
Apa
nilai-nilai pendidikan karakter
9.
Bagaimana
pengaruh pemikiran tasawuf dalam pendidikan karakter ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf
Secara etimologi
pengertian tasawuf
terdiri dari beberapa macam pengertian sebagai berikut:
Pertama, kalimat tasawuf masuk
dalam “babut-tafaul” dengan wazan Tasawwufa, Tasawwufan. Contoh penggunaan: “Tasawwufar-rajulu”
yakni laki-laki telah berpindah halnya dari kehidupan biasa kepada kehidupan
yang suci.[1]
Kedua, ada yang mengatakan
tasawuf itu berasal dari kata “shafa” (صفاء). Yang berarti bersih/suci.[2]
Maksudnya adalah orang-orang yang menyucikan dirinya di hadapan Tuhan.
Ketiga, ada yang mengatakan
bahwa istilah tasawuf berasal dari kata “shaf” (صف), yang berarti barisan[3]. Makna “shaf”
ini dinisbahkan kepada orang yang ketika sholat selalu berjamaah.
Keempat, disebutkan dalam buku
“Akhlak Tasawuf (A. Mustofa), bahwa lafal tasawuf merupakan mashdar dari fi’il
: تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ
menjadi : تَصَوُّفًا
Kata تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ
merupakan فٍعْلُ مَزِيْدُ بِحَرْفَيْنِ
(kata kerja tambahan dua huruf). Yang sebenarnya berasal dari فٍعْلُ مُجَرَّدُ ثُلَاثِيّ
(Kata kerja asli tiga huruf), yang berbunyi : صَافَ – يَصُوْفُ
menjadi صَوْفًا
(mashdar); artinya memakai bulu (domba) yang banyak.
Perubahan dari kata: صَافَ – يَصُوْفُ – صَوْفًا
menjadi kata: تَصَوَّفَ – يَتَصَوَفُ – تَصَوُّفًا
yang diistilahkan dalam bahasa Arab; menjadi atau perpindah.
Jadi lafal التَصَوَّف
yang artinya (menjadi) berbulu domba, dengan arti adalah menjadi sufi, yang
ciri khas pakaiannya terbuat dari bulu domba. Akan tetapi, pemakaian kata
ini,menjadi perbedaan dikalangan ulama Tasawuf.
Kelima: Ada juga yang mengatakan Tasawuf itu berasal
dari kata “shuf” (صوف) yang berarti bulu domba atau wol kasar. Pemakaian
wol kasar pada saat itu merupakan simbol dari kesederhanaan dan menjadi ciri
khas dari kemiskinan.[4] Sebagai
lawan dari ciri khas ini adalah pemakaian kain sutera halus oleh orang-orang
yang bergaya hidup mewah dikalangan orang-orang pemerintahan. Namun tidak semua
Sufi yang memakai “Shuf, hal tersebut hanya menjadi ciri khas
kesederhanaan. Selain dari itu juga disebutkan bahwa makna Shuf/Bulu
domba, sebab para sufi dihadapan Tuhannya selalu merasa bagaikan selembar bulu
yang tidak mempunyai nilai apa-apa.[5]
Pemahaman yang dapat
diambil dari berbagai arti secara bahasa adalah, bahwa Tasawuf itu merupakan upaya
mengubah kehidupan menjadi lebih bersih/suci, dengan menjalankan perintah
Agama, dan menjalankan kehidupan dalam kesederhanaan dan tidak berlebihan.
Secara istilah
Ada beberapa ulama yang telah mendefinisikan istilah tasawuf. Di antaranya
ialah:
1.
Ruwaim berkata,
“Tasawuf adalah membiarkan diri bersama Allah menurut apa yang dikehendaki
Allah.
2.
Kattani berkata,
“Tasawuf adalah akhlak. Barangsiapa bertambah baik akhlak, bertambah baik (pula) tasawufnya.”
3.
Abu Muhammad Al-Jariri
berkata, “Tasawuf adalah memasuki akhlak yang baik dan keluar dari akhlak yang
buruk” [6]
4.
Al-Junaid Al-Bagdadi,
“Tasawuf adalah engkau bersama Allah tanpa ‘alaqah (tanpa perantara).”[7]
5.
Syaikh Abdul Qadir
Jailani berpendapat bahwa: “Tasawuf adalah mensucikan hati dan melepaskan nafsu
(yang tidak baik) dari pangkalnya dengan khalwat, riyadah dan terus-terus
berzikir dengan dilandasi iman yang benar, taubat, mahabbah dan ikhlas.[8]
6.
Asy-Syekh Muhammad Amin
Al-Kudry mengatakan: “Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui
hal ihwal kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari sifat-sifat
yang buruk dan mengisinya dari sifat-sifat terpuji, cara melakukan suluk,
melangkah menuju keridhaan Allah dan meninggalkan larangan-Nya menuju kepada
perintah-Nya”.[9]
7.
Prof. Dr. Hamka:
Tasawuf ialah membersihkan jiwa dari pengaruh benda atau alam, supaya dia mudah
menuju kepada Allah.[10]
Demikian pendapat jumhur ulama’ tentang arti
tasawuf. Secara garis besar tasawuf bisa
didefinisikan sebagai pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus
berakhlak mulia dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT
(bertawakal).
B. Dasar-dasar Tasawuf
1.
Dasar Al-Quran
Al-Qur’an dan As-sunnah adalah nash.
Setiap muslim kapan dan di mana pun dibebani tanggung jawab untuk memahami dan
melkasanakan kendungannya dalam bentuk amaln yang nyata. Pemahaman terhadap
nash tanpa pengalaman akan menimbulkan kesenjangan.
Dalam hal inilah, tasawuf, pada awal
pembentukannya adalah manifestasi akhlak dan keagamaan. Moral ini banyak
disinggung dalam Al-Quran dan As-sunnah. Dengan demikian, sumber utama tasawuf
adalah ajaran-ajaran Islam, sebab tasawuf ditimba dari Al-Quran, As-sunnah dan
amalan-amalan serta ucapan para sahabat.[11]
2.
Dasar Hadis
Sejalan dengan apa yang disitir
dalam Al-Quran, ternyata tasawuf dapat juga dilihat dalam kerangka hadist.
Umumnya yang dinyatakan sebagai landasan ajaran-ajaran tasawuf adalah
hadist-hadist berikut:
Artinya: “Barang siapa yang mengenal dirinya sendiri, amka akan mengenal
Tuhannya”
Artinya: “Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku
menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku”
Hadis di atas memberi petunjukk bahwa manusai dan Tuhan dapat bersatu.[12]
C. Tujuan Tasawuf
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan
sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan
setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan
menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syekh Zakaria Al-Anshari
mendefinisikan.[13]
Kesucian
jiwa dan pendekatan diri kepada Allah merupakan dua faktor yang paling penting
dalam ajaran Tasawuf dan menjadi perhatian utama. Perjalanan spiritual Tasawuf
bertitik tolak dari kesucian qolbu.[14]
Hadits nabi menganai qolbu/hati:
... إن في الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدَ كُلّهُ ، وإذَا
فَسَدَتْ فَسَدَ الجَسَدَ كُلُّهٌ ألَا وَهِيَ القَلْبُ
Ingatlah bahwa dalam jasad ada segumpal daging,
jika ia baik maka baiklah seluruh jasadnya, dan jika ia rusak maka rusaklah
seluruh jasadnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari).[15]
Jadi, tujuan dalam perilaku sufistik
generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai
ittiba’, dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural.
Selain dari
itu, ada juga yang berpendapat bahwa tujuan tasawuf adalah “fana” untuk
mencapai “Makrifat”. Arti fana adalah “meniadakan diri suapaya ada”, ini
menurut cara filosopis. Secara tasaawuf adalah leburnya pribadi pada keabqaan
Allah, dimana perasaan Keinsanan lenyap diliputi rasa Ketuhanan dalam keadaan
mana, semua rasa yang menutup diri dengan Al-Haqqu Taala.[16]
D. Pandangan Para Ahli Mengenai Tasawuf
1.
Pemikiran Tasawuf Al-Gazali
Al-Gazali berkesimpulan bahwa
tasawuflah jalan yang benar menuju Tuhan, dan para sufilah pencari kebenaran
yang paling hakiki. Jalan para sufi adalah paduan antar ilmu dan amal,
sedangkan buahnya adalah moralitas. Dengan demikian menurut Al-Gazali,
mempelajari ilmu para sufi lewat karya-karya mereka ternyata lebih mudah dari
pada mengamalkannya. Selanjutnya ia menyatakan bahwa keistimewaan khusus milik
para sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus dengan
tersingkapan batin (kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian
tabiat-tabiat. Bagi al-Gazali tasawuf adalah semacam pengalaman nyata maupun
penderitaan yang riil.
Berikut
ini, penulis ungkapkan mutiara-mutiara sufistik Al-Gazali yang tersebar dalam
beberapa kitabnya:
a.
Barang siapa yang tidak ragu maka
tidak akan berfikir, barang siapa yang tidak berfikir maka tidak akan bisa
melihat, barang siapa yang tidak bisa melihat maka ia tetap dalam
kebodohan dan kesesatan.
b.
Barang siapa yang cenderung pada
taklid maka ia celaka dengan mutlak.
c.
Semua manusia celaka kecuali orang
berilmu, semua orang berilmu celaka kecuaili orang yang beramal dengan ilmunya,
semua orang beramal celaka kecuali yang ikhlas dalam amalannya.
d.
Kenikmatan hati adalah makrifat,
setiap kali makrifat bertambah besar maka bertambah pula kenikmatannya.
e.
Setiap ilmu yang tidak membawa
keamanan dan ketenangan maka bukanlah ilmu yakin.[17]
2.
Pemikiran Tasawuf Al-Qusyairi
Al-Qusyairi termasuk sufi yang
berhasil memadukan antara syariat dengan hakikat. Disamping itu, al-Qusyairi
juga selalu melandaskan ajaran tasawufnya pada doktrin Ahlussunah. Diantara
pemikiran tasawuf al-Qusyairi adalah Al-Makrifat. [18]
Menurut Bahasa, kata ma’rifat berarti
mengetahui atau mengenal. Ma’rifat berarti mengetahui atau mengenalAllah
melalui tanda-tanda kekuasaan-Nya yang berupa makhluk-makhluk ciptaan-Nya.[19]
Dalam pengertian para sufi makrifat
adalah pengetahuan tentang Tuhan secara dekat.
Orang yang berakrifat berarti
membersihkan diri dari akhlak yang buruk dan dosa-dosa, kemudian secara
istiqamah mengetuk pintu Allah sambil menjauhi kemaksiatan sehingga mendapat
hidayah Allah.
Allah membimbing semua keadaannya,
sehingga terputuslah gelora nafsu rendah dari diri dan hatinya dan sehingga
tidak pernah terdorong lagi melakukan akhlak mazmumah.
3.
Pemikiran tasawuf Al-Hallaj
Menurut al-Hallaj bahwa dalam diri
manusia terdapat lahut (unsur ketuhanan) dan nasut (unsur
kemanusiaan), demikian juga dalam diri Tuhan ada lahut dan nasut.
Jika manusia berusaha mensucikan hati sesuci-sucinya maka akan terjadi lahut
manusia naik ke atas dan nasut Tuhan turun ke bawah sehingga terjadi apa
yang disebut ittihad artinya bersatunya nasut Tuhan edengan lahut
manusai dalam diri manusia.
Dalam paham hulul, diri Al-Hallahj
tidak hancur. Ketika ia mengatakam “Aku adalah al-Haq” bukan lah roh al-Hallaj
yang mengatakan demikian , tetapi ruh Tuhan yang mengambil tempat pada diri Al-Hallaj.
Perbedaanya dengan ittihad Abu Yazid, dalam ittihad yang dilihat
hanya satu wujud, sedangkan dalam paham hulul ada dua wujud, tetapi
bersatu dalam satu tubu.
Al-Hallaj mengungkapkan :
”Aku adalah rahasia Yang benar, dan
bukanlah Yang Benar itu aku, Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah
antara kami”.[20]
Al Hallaj juga terkenal karena
ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah Yang Maha Mutlak,
Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan", mengomentari
masalah ini Al-Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau terwujud",
ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara manusia dengan
Tuhan. Menurut Junaid " Al-Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al Rabb"
artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan
tetap menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah
kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai
martir atau syahid. Sampai sekarang Al-Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri
karena masih pro dan kontra.[21]
E. Ajaran-ajaran Tasawuf
Buya Hamka
mengemukakan bahwa: hidup kerohanian, hidup kebatinan atau tasawuf, sudahlah
lama umurnya dn telah ada pada setiap bangsa. Kadang-kadnag tasawuf menjadi
tempat pulang dari orang-orang yang telah payah berjalan. Tasawuf menjadi
tempat lari dari orang yang telah tersesak. Tetapi pun tasawuf telah menjadi
penguat pribadi bagi orang yang lemah dan tasawufpun menjadi tempat berpijak
yang teguh bagi orang-orang yang telah kehilangan tempat gerak.[22]
Secara
keseluruhan ilmu tasawuf bisa dikelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi
atau nadhari, bagian yang pertama yaitu tasawuf yang bersifat teoritis. Termasuk di dalamnya adalah teori-teori tasawuf menurut berbagai tokoh
tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis.
Bagian kedua ialah tasawuf Amali atau tathbiqi yaitu tasawuf terapan, yakni
ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya teori belaka, tetapi menuntut adanya
pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalankan ajaran
tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara material dan
spiritual, dunia dan akherat. Sementara
ada lagi yang membagi tasawuf menjadi tiga bagian, yakni:
1. Tasawuf
Akhlaqi
Tasawuf yang
menitik beratkan pada pembinaan akhlak al-karimah. Akhlak adalah keadaan yang tertanam dalam jiwa yang menumbuhkan perbuatan,
dilakukan dengan mudah, tanpa dipikir dan direnungkan terlebih dahulu. Dengan
demikian, maka nampak adanya perbuatan itu didorong oleh jiwa, ada motifasi
(niat) kuat dan tulus ikhlas, dilakukan dengan gampang tanpa dipikir dan
direnungkan sehingga perbuatan itu nampak otomatis. adalah ajaran tasawuf yang
membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada
pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Guna
mencapai kebahagiaan yang optimum manusia harus lebih dahulu
mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui
pensucian jiwa raga, bermula dari pembentukan pribadi bermoral dan berakhlak,
yang dalam ilmu tasawuf dikenal sebagai takhalli (pengosongan diri dari sikap
tercela). Tahalli (menghias diri dengan sifat yang terpuji), dan tajalli
(terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih sehingga mampu menangkap
cahaya ketuhanan).
2. Tasawuf Amali
ialah tasawuf yang menitik berat pada amalan lahiriyah yang didorong oleh
qalb (hati). Dalam bentuk wirid, hizib, dan doa. Selanjutnya tasawuf ini
dikenal dengan tariqat (Arab: tariqah), jalan menuju Allah, yang selanjutnya
menjelma menjadi organisasi ketasawufan yang diikat dalam sebuah organisasi
yang dilengkapi dengan aturan-aturan yang ketat dengan mengkaitkan diri kepada
seorang guru (mursyid). Pengikut tariqat
harus berguru, sebab yang bertariqat tanpa guru, maka gurunya adalah syaitan.
Organisasi ini dihimpun dalam suatu wadah yang namanya disesuaikan dengan nama
perintisnya, seperti tariqat qadiriyah, naqsabandiyah, alawiyah dan sebagainya.
3. Tasawuf Falsafi
Ialah tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara memperoleh ilmu
menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa
dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi
perpaduan antara keduanya, selanjutnya dikenal tasawuf Falsafi.
Ketiga model tasawuf tersebut hanya sebatas
dalam sistematika keilmuan, bukan dalam tataran praktis. Ketiga menyatu pada
pribadi yang satu dan utuh. Semua proses bertasawuf akan melalui tahapan
takhalli (pembersihan hati dari sifat-sifat tercela) dan tahalli (menghiasi/mengisinya
dari sifat-sifat terpuji) secara simultan, sehingga tercapai tajalli
(tersingkapnya hijab/tabir) antara seorang hamba dengan Tuhan. Bagi orang awam
(orang pada umumnya) mencapainya dalam tataran elementer, yakni mengetahui,
menghayati dan mengamalkan kebenaran, sementara bagi khawwash dan khawash
al-Khawash (istimewa dan sangat istimewa), mencapai ma’rifatullah dengan
mencapai nur bashirah (mata hati) kesempurnaan serta kesucian jiwa, tiada lain
kecuali harus melalui pendidikan dan
latihan mental (riyadlah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap
mental yang benar dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat.
Itulah
sebabnya mengapa al-Ghazali mengibaratkan hati/jiwa manusia itu bagaikan
cermin. Cermin yang mengkilap dapat saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh
noda-noda hitam maksiat dan dosa yang diperbuatnya. Hal ini sejalan dengan
firman Allah SWT :
xx. ( 2ö@t/ tb#u 4n?tã NÍkÍ5qè=è% $¨B (#qçR%x. tbqç6Å¡õ3t ÇÊÍÈ
Artinya : Sekali-kali
tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati
mereka. (QS. 83:14)
Namun apabila manusia mampu menghilangkan titik
noda dan senantiasa menjaga kebersihannya, maka cermin tersebut akan mudah
menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran nur illahi. Bahkan lebih dari
itu, hati jiwa seseorang akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.
F.
Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter merupakan kulminasi dari kebiasaan yang dihasilkan dari pilihan
etika, perilaku dan sikap yang dimiliki individu yang merupakan moral yang prima
walaupun ketika tidak seorang pun yang melihatnya. Karakter juga diartikan
sebagai moralitas, kebenaran, kebaikan, kekuatan, dan sikap seseorang yang
ditunjukkan kepada orang lain melalui tindakan.[23]
Karakter tidak diwariskan, tetapi sesuatu yang dibangun secara
berkesinambungan hari demi hari melalui pikiran dan perbuatan, pikiran demi
pikiran, tindakan demi tindakan.
Karakter dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku yang khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga,
masyarakat, bangsa dan negara.[24]
Imam Ghazali menganggap bahwa
karakter lebih dekat dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap,
atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketiak
muncul tidak perlu dipikirkan lagi.[25]
Pendidikan karakter adalah mengajarkan peserta didik tentang nilai-nilai
dasar kemanusiaan termasuk kejujuran, kesetaraan, dan penghargaan kepada orang
lain. Tujuannya adalah untuk mendidik anak-anak menjadi bertanggung jawab
secara moral dan warga negara yang disiplin.
Beberapa nilai universal yang menjadi tujuan untuk dikembangkan pada diri
peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan karakter. Nilai-nilai inti universal
yang dimaksud adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur, adil,
apresiatif, baik, murah hati, berani, bebas, setara, dan penuh prinsip.
Karakter seperti ini seharusnya menjadi bagian yang terintegrasi dalam
perwujudan diri peserta didik dalam berfikir, berkehendak, dan bertindak.
G. Pilar-pilar Pendidikan Karakter
Pilar-pilar pendidikan karakter dapat dibangun dari berbagai kawasan ilmu.
Ada empat domain pilar-pilar pendidikan nasional yang merujuk pada pengolahan
nilai-nilai dalam kawasan pikiran, perasaan, fisik atau raga, dan pengolahan
hati yang menjadi spirit dalam menggerakkan pikiran, perasaan, dan kemauan atau
dikenal dengan istilah olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga.
1. Olah fikir
Beberapa istilah yang
berkenaan dengan olah fikir adalah otak (brain), pikiran (mind),
dan cipta (thought). Ketiga istilah ini banyak dikaji dan didalami
sehingga diyakini dapat mempengaruhi kemajuan pendidikan, baik kemajuan kajian
teoritis maupun implementasinya termasuk dalam pendidikan karakter itu sendiri.
Pemikiran atau berfikir
pada umumnya mengacu pada setiap aktivitas mental atau intelektual yang
melibatkan kesadaran subjektif individu. Keutuhan manusia sebenarnya ketika
mereka mampu menyelaraskan atau menyeimbangkan segala sesuatu yang dihasilkan
dalam akal pikirannya, diseleksi oleh perasaannya, kemudian penyeleksian itu
digunakan untuk memutuskan dan berniat dan berkehendak sehingga mampu melakukan
suatu perbuatan.
2. Olah rasa
Rasa (feeling)
adalah nominalisasi kata kerja untuk merasa. Rasa merupakan salah satu
aspek yang menjadi tujuan pembelajaran dan berhubungan langsung dengan kualitas
karakter manusia. Adapun karakter yang terbentuk dari rasa adalah ramah, saling
menghargai, suka monolong, sederhana, toleran, nasionalis, mengutamakan
kepentingan umum, kooperatif dan kolaboratif.
3. Olah hati
Secara rohania, kalbu
merujuk pada makna sritual sebagai pusat dari semua bentuk emosi (intelektual
dan spritual) yang diyakini sebagai kemampuan penyeimbang antara intelligence
(IQ) dan quotient emotional quotion (EQ). Olah hati disini merupakan
suatu upaya yang dilakukan untuk mengelola aspek-aspek spritual yang dapat
membentuk karakter manusia. Jadi, yang dimaksud dengan olah hati adalah
kapasitas atau kemampuan hidup manusia yang bersumber dari hati yang paling
dalam (inner capacity) yang terilhami dalam bentuk kodrat untuk
dikembangkan dan ditumbuhkan dalam mengatasi berbagai kesulitan hidup.
Dalam terminologi agama, hati dipandang sebagai sesuatu yang
amat halus (lathifah), tidak kasat mata, tiak dapat diraba, bersifat Robbani,
mengacu pada rohani yang merupakan jati diri dan hakikat manusia yang
mengenal, mengetahui, dan mengerti tentang sesuatu.
4. Olah raga
Beberapa istilah dalam
pembelajaran yang sering dihubungkan dengan pengolahan fisik (jasad) adalah
olah (mengolah) raga, kinestetik atau takti, dan psikomotor. Olah raga adalah sesuatu
bentuk aktivitas fisi yang terencana dan terstruktur yang melibatkan gerakan
tubuh berulang-ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran tubuh atau
jasmani. Olah raga adalah aktivitas melatih tubuh, tidak hanya secara jasmani
tetapi juga secara rohani. Kinestetik atau khinestesia adalah rasa yang
mendeteksi posisi tubuh, berat badan, atau gerakan otot-otot, dan sendi.[26]
H. Nilai-nilai Karakter
Empat nilai karakter yang paling
terkenal dari Nabi penutup zaman adalah shiddiq (benar), amanah
(dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (menyatukan
kata dan perbuatan).
Kementerian Pendidikan Nasional
(Kemendiknas) telah merumuskan 18 nilai karakter yang tertuang dalam buku
Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang disusuk Kemendiknas
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum (Kemeterian
Pendidikan Nasional, 2010).
1.
Religius,
yakni ketaatan dan kepatuhan dalam memahami dan melaksanakan ajaran agama
(aliran kepercayaan) yang dianut, termasuk dalam hal ini sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama (aliran kepercayaan) lainnya, serta hidup rukun dan
berdampingan.
2.
Jujur,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan kesatuan antara pengetahuan,
perkataan dan perbuatan (mengetahui yang benar, mengatakan yang benar dan
melakukan yang benar), sehingga menjadikan orang yang bersangkutan sebagai
pribadi yang dapat dipercaya.
3.
Toleransi,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan penghargaan terhadap perberdaan
agama, aliran kepercayaan, suku, adat, bahasa, ras, etnis, pendapat, dan
hal-hal lain yang berbeda dengan dirinya secara sadar dan terbuka, serta dapat
hidup tenang di tengah perbedaan tersebut.
4.
Disiplin,
yakni kebiasaan dan tindakan yang konsisten terhadap segala bentuk peraturan
dan tata tertib yang berlaku.
5.
Kerja
keras, yakni yang menunjukkan upaya secara sungguh-sungguh (berjuang sampai
darah penghabisan) dalam menyelesaikan berbagai tugas, permasalahan, pekerjaan,
dan lain-lain dengan sebaik-baiknya.
6.
Kreatif,
yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan inovasi dalam berbagai segi dalam
memecahkan masalah, sehingga selalu menemukan cara-cara baru, bahkan
hasil-hasil baru yang lebih baik dari sebelumnya.
7.
Mandiri,
yakni sikap dan perilaku yang tidak tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan berbagai tugas maupun persoalan. Namun hal ini bukan berarti
tidak boleh kerjasama secara kolaboratif, melainkan tidak boleh melemparkan
tugas dan tanggug jawab kepada orang lain.
8.
Demokratis,
yakni sikap dan cara berfikir yang mencerminkan persamaan hak dan kewajiban
secara adil dan merata antara dirinya dengan orang lain.
9.
Rasa
ingin tahu, yakni cara berfikir, sikap dan perilaku yang mencerminkan penasaran
dan keinginan terhadap segala yang dilihat, didengar dan dipelajari secara
lebih mendalam.
10.
Semangat
kebangsaan atau nasionalisme, yakni sikap dan tindakan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau individu dan
golongan.
11.
Cinta
tanah air, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan rasa bangga, setia,
peduli dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, budaya, ekonomi, politik
dan sebagainya, sehingga tidak mudah menerima tawaran bangsa lain yang dapat
merugikan bangsa sendiri.
12.
Menghargai
prestasi, yakni sikap terbuka terhadap prestasi orang lain dan mengakui
kekurangan diri sendiri tanpa mengurangi semangat berprestasi yang lebih
tinggi.
13.
Komunikatif,
senang bersahabat atau proaktif, yakni sikap dan tindakan terbuka terhadap
orang lain melalui kemunikasi yang santun sehingga tercipta kerjasama secara
kolaboratif dengan baik.
14.
Cinta
damai, yakni sikap dan perilaku yang mencerminkan suasana damai, aman, tenang,
dan nyaman atas kehadiran dirinya dalam komunitas atau masyarakat tertentu.
15.
Gemar
membaca, yakni kebiasaan denga tanpa paksaan untuk menyediakan waktu secara
khusus guna membaca berbagai informasi, baik nuku, jurnal, majalah, koran dan
sebagainya, sehingga menimbulkan kebijakan bagi dirinya.
16.
Peduli
lingkungan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya menjaga dan
melestarikan lingkungan sekitar.
17.
Peduli
sosial, yakni sikap dan perbuatanyang mencerminkan kepedulian terhadap orang
lain maupun masyarakat yang membutuhkan.
18.
Tanggung
jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya baik yang terkait dengan diri sendiri, sosial, masyarakat, bangsa,
negara maupun negara.[27]
I. Pengaruh Tasawuf dalam Pendidikan Karakter
Para ahli tasawuf membagi dengan secara ahlaki, amali, falsafi. Ketiga macam ini bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan
cara membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan menghiasi diri dari
sifat yang terpuji. Seperti pemikiran beberapa ahli, imam al-Gazali
mengatakan sufi tidak mungkin tercapai hanya dengan belajar, tetapi harus
dengan tersingkapan batin (kasyf), keadaan rohaniah, serta pergantian
tabiat-tabiat. Al-Qusyairi berpendapat bahwa Allah membimbing semua keadaannya,
sehingga terputuslah gelora nafsu rendah dari diri dan hatinya dan sehingga
tidak pernah terdorong lagi melakukan akhlak mazmumah dan al-Hallaj
berpendapat bahwa jika manusia berusaha mensucika hati sesuci-sucinya maka akan
terjadi lahut manusia naik ke atas dan nasut Tuhan turun ke bawah
sehingga terjadi apa yang disebut ittihad artinya bersatunya nasut
Tuhan dengan lahut manusia dalam
diri manusia. Dengan demikian tasawuf harus dicapai dengan akhlak yang
terpuji terlebih dahulu, seperti
menekenkan akan kejujuran, rendah hati, tidak sombong, ramah, bersih hati,
berani dan semacamnya, nilai-nilai ini yang seharusnya dimiliki oleh seorang
muslim.
Sejalan dengan hal itu nilai-nilai universal yang menjadi
tujuan untuk dikembangkan pada peserta didik dalam pelaksanaan pendidikan
karakter. Nilai tersebut adalah beretika, bertanggung jawab, peduli, jujur,
adil, baik, murah hati, berani, bebas, dan penuh prinsip. Nilai-nilai ini yang
ditanamkan kepada peserta didik dengan tujuan agar peserta didik mampu
berfikir, bersikap dan bertindak sesuai dengan budi pekerti yang baik. Pendidikan
karakter juga berlandaskan agama, dengan tujuan agar peserta didik mampu
bertanggung jawab dengan gelar “khalifah di bumi” yang disandangnya. Dari
penjelasan tersebut bisa disimpulkan tujuan pendidikan karakter dan tasawuf
sangat erat kaitanya yang sama-sama menjadi seseorang yang berakhlak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Tasawuf adalah pendidikan tentang bagaimana seorang hamba harus
berakhlak mulia, membersihkan jiwanya
dari sifat tercela dan senantiasa menyerahkan urusannya kepada Allah SWT (bertawakal).
2.
Ajaran-ajaran tasawuf terbagi akan beberapa macam antara lain
tasawuf amali yang bersifat teori dan nadhzori yang bersifat pemikiran, yang
nantinya tercakup akan tasawuf amali, akhlaki dan falsafi.
3. Pengaruh
tasawuf dalam pedidikan karakter adalah tasawuf menekankan kepada perbaikan
akhlak agar bisa mndekatkan diri dengan sang pencipta, hel tersebut sangat
berpengaruh dalam pendidikan karakter, karena tujuan pendidikan karakter juga
memperbaiki akhlak peserta didik.
B.
SARAN
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembacanya, dan bernilai ibadah bagi penulis/penyusunnya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa
manusia tidak terlepas dari khilaf dan salah, dan saya juga menyadari bahwa
banyak kekurangan dalam menyusun makalah yang sederhana ini karena keterbatasan
ilmu dan materi yang kami miliki.
Untuk itu, kritik dan saran
sangat saya harapkan agar kami bisa lebih baik dalam menyusun makalah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Mustafa
Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (1997)
Surabaya : PT. Bina Ilmu.
Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (1997) Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 2.
Ahmad Sunarto, Kamus
Indonesia-Arab, Arab Indonesia, (T.th) Surabaya: Pustaka Barokah)
Asrifin, Jalan
Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001) Surabaya: Terbit Terang.
Cecep
Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1.
A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (1997) Bandung: Pustaka Setia.
M. Solihin, Ilmu
Tasawuf, (2011) Bandung : Pustaka Setia.
Ahmad Zuhdi, Aspek-Aspek
Tasawuf Dalam Studi Islam (2013) Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1.
Asrifin, Jalan
Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (2001) Surabaya: Terbit Terang.
Imam
Nawawi, Hadits Abba’in (2012) Semarang: Pustaka Nuun, cet. 4.
Cecep
Alba, Tasawuf dan Tarekat, (2012) Bandung: Remaja Rosdakarya.
Ibn
‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat, (T.Th) Surabaya: Bintang Usaha Jaya.
M.
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (2001) Pustaka
Setia: Bandung.
Heri
Gunawan, Pendidikan Karakter, (2004) Bandung: Alfabeta.
Muchlas
Samani dan Hariyanto, Pendidikan Karakter, (2013) Bandung: Remaja Rosdakarya.
Muhammad
Yaumi, Pendidikan Karakter, (2014) Jakarta: Prenadamedia Group.
Suyadi,
Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter, (2013) Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm.
30
[2] Munawwir, Kamus Al-Munawwir
Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, cet. 2, 1997) hlm. 783
[3] Ahmad Sunarto, Kamus Indonesia-Arab,
Arab Indonesia (Surabaya: Pustaka Barokah),
hlm. 14. Penggunaan kata Shaf yang berarti “barisan”, juga bisa dilihat pada Qur’an Surat Ash-shaf ayat 4
[4] Asrifin, Jalan Menuju Ma’rifatullah
Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang,
2001), hlm. 16
[5] Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 2012) cet. 1, hlm.
9
[6] http://madinagate.org/index.php/id/akidah-filsafat-dan-tasawuf/item/4466- pengertian-tasawuf (Diunggah:
tgl. 03-10-2017, 20:41) Dalam artikel ini mengutip dari: Qa’idah al-Tasawuf, Abu al-Abbas, Ahmad Muhammad Zaruq, hal. 3
[7] Cecep
Alba, Op.Cit, hlm. 10
[8] Cecep
Alba, Op.Cit, hlm. 11
[9] A.
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997), hlm.202
[10] Mustafa
Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 1997), hlm. 31
[11] M.
Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung : Pustaka Setia. 2011), h.17
[12] Ibid, h. 26.
[13] Ahmad
Zuhdi, Aspek-Aspek Tasawuf Dalam Studi Islam (Sungai Penuh: Kerinci Press, cet. 1, 2013), hlm. 3
[14] Asrifin,
Jalan Menuju Ma’rifatullah Dengan Tahapan 7 M (Surabaya: Terbit Terang, 2001), hlm. 25
[15] Imam
Nawawi, Hadits Abba’in (Semarang: Pustaka Nuun, 2012), cet. 10, hlm.9
[16] Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu
Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu. 1997), h. 164.
[17] Cecep
Alba, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2012), h. 42
[18] Ibid,
69
[19] Ibn
‘Atho’illah, Hakekat Ma’rifat, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, T.Th), h.
11
[20] Opcit, h. 73.
[21] M.
Solihin, Sejarah dan Pemikiran Tasawuf di Indonesia (Pustaka Setia:
Bandung, 2001), hlm. 44
[22] Ahmad Zuhdi, Aspek-aspek Tasawuf dalam
Stud Islam, (Sungai Penuh: Stain Kerinci
Press. 2013), h. 34.
[23] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter,
(Bandung: Alfabeta. 2004), h. 1.
[24] Muchlas Samani dan Hariyanto, Pendidikan
Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya.
2103), h. 41.
[25] Loc.Cit, h. 3.
[26] Muhammad Yaumi, Pendidikan Karakter,
(Jakarta: Prenadamedia Group. 2014), h. 56.
[27] Suyadi, Strategi Pembelajaran
Pendidikan Karakter, (Bandung: Remaja Rosdakarya.
2013), h. 9.